Postingan

Menyusuri Si Hitam di Kota Cantik Palangka Raya

Gambar
                Air sungai berwarna hitam di bawah perahu kami. Perjalanan berkelok-kelok melewati kerumunan pohon-pohon rasau. Seperti labirin, kami terus mencari jalan menuju Taman Nasional Sebangau.   Di Kalimantan, sungai dan aktivitas di atasnya menjadi denyut kehidupan. Warga kota memanfaatkan sungai tidak hanya sebagai sarana transportasi. Masyarakat yang hidup di pinggir sungai memelihara ikan sungai menggunakan keramba-keramba. Banyak perahu tertambat di belakang rumah panggung, rumah khas bagi warga yang tinggal di bantaran sungai. Selain itu, masyarakat juga masih memanfaatkan sungai dan perahu untuk transportasi. Alih-alih menggunakan jalan darat, beberapa warga memilih naik ojek klotok yang banyak melewati rumah mereka. “Akan memutar jalan terlalu jauh kalau kami memutar,” aku seorang ibu yang akan menuju pasar di dekat sungai Kahayan.   Begitupun di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, kota yang tengah digadang-gadang menjadi ibukota negara ini me

Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)

Gambar
rumah transmigran pertama Sorong, 10 Oktober 2017 Adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Papua. Setelah perjalanan panjang dari Bima menuju Sorong, transit Tangerang selama 8 jam. Batik Air yang saya tumpangi mendarat di Bandara Domine Eduard Osok (DEO). Sebelumnya, saya sudah janjian dengan Pak Eko Tavip dan Pak Anang Triyoso dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Sorong untuk audiensi menjelang kegiatan MDMC di Sorong dalam Bulan PRB 2017. Pesawat mendarat tepat waktu, pukul 08.00 WIT. Dari atas pesawat saya sudah merasakan terik matahari pagi. Ini di Indonesia bagian timur, Mbak . Batin saya. Mengingat seminggu sebelumnya saya berada di Bima yang masuk waktu Indonesia bagian tengah dan sempat berada di Tangerang sebelum beranjak ke Sorong. Sebuah pesan singkat masuk ke handphone saya, dari Pak Lestari, staf kampus STKIP Muhammadiyah Sorong yang menjemput saya dan akan mengantar saya selama berkegiatan di Sorong. Lestari, Pelest

Karapan Sape

Gambar
Bangkalan nan gersang. Seperti di belahan bumi lain di Indonesia yang juga tengah memasuki musim kemarau. Minggu lalu, 17 September 2017, jam 9 pagi layaknya jam 11 siang. Mungkin karena kami berada di timur. Matahari lebih cepat meninggi. Pekan lalu, saya dan ketiga teman jalan-jalan ke Surabaya. Mumpung disini, kami sempatkan melewati Jembatan Suramadu dan keliling Bangkalan. Perjalanan kami hanya sepersekian kilometer dari luas Pulau Madura. Ya setidaknya kami pernah menjejakkan kaki ke pulau ini. Meskipun hanya mampir makan bebek sinjay yang tersohor. Tak ada tujuan, berbekal tanya ke Mbah Google, kami menuju Bukit Jaddih. Bukit yang tak lain adalah bekas galian batu kapur. Debu putih dimana-mana. Sampai sana, malas kami turun. Sayang sekali si Taruna ini kotor karena debu putih dari bukit kapur. "Masa' kita menikmati wisata kerusakan alam?" sindir Irul. Tumben sekali dia bijak , batin saya. Pergilah kami dari sana setelah 'menyumbang' sepuluh ribu rup

Uma Lengge: Menjaga Ketahanan Pangan Masyarakat Bima

Gambar
Menuju Situs Uma Lengge di Desa Maria Tanggal 27 Juli lalu, menjelang shalat Ashar, saya bersama teman-teman dari RS PKU Muhammadiyah Bima menuju Desa Maria Kecamatan Wawo. Titik keberangkatan kami adalah Jalan Gajah Mada, di pusat kota Bima. Dengan mengendarai mobil, kami berangkat ke arah timur. Perjalanan menuju Kecamatan Wawo melewati beberapa jalan yang cukup menanjak dan berkelok. Perlu kehati-hatian ketika berkendara di jalanan Bima. Meskipun jalanan sepi, tidak menutup kemungkinan kita akan berpapasan dengan kendaraan lain dari arah berlawanan yang ugal-ugalan dan tidak mematuhi marka jalan. Gerbang Situs Uma Lengge Setelah 45 menit, sampailah kami di Desa Maria, Kecamatan Wawo. Tidak ada papan penunjuk yang mengarahkan ke situs budaya ini. Pengunjung harus jeli melihat sebuah spanduk kecil yang terpasang di pinggir jalan menuju Desa Maria. Situs Uma Lengge berada di antara permukiman warga. Karena berada di wilayah perbukitan, udara segar menya

Mengapa Via Vallen Digemari? : Sebuah Amatan tentang Via Vallen

Gambar
“Sayang opo kowe kerungu, jerite atiku, mengharap engkau kembali..?” Intro musik tersebut terus terngiang di telinga saya. Pertama kali saya mendengar penggalan lirik lagu ini dari sebuah status yang viral di media sosial. Adalah Maulidia Octavia atau yang lebih dikenal dengan Via Vallen, biduan dangdut asal Surabaya yang mempopulerkan lagu tersebut bersama Orkes Melayu (OM) Sera.  Via Vallen cukup dikenal di kalangan dangdut koplo Pantura. Namanya kian terkenal ketika sering diundang untuk tampil di beberapa acara musik yang rutin tayang di stasiun televisi. Terlebih ketika ia berhasil meraih Penghargaan Penyanyi Dangdut Wanita Ngetop versi SCTV Awards 2017, mengalahkan beberapa pendahulu lainnya di bidang dangdut kekinian, seperti Ayu Tingting, Cita Citata, dan Zaskia Gothik. Dangdut adalah salah satu genre musik populer yang terkenal di Indonesia pasca runtuhnya pemerintahan Soekarno. Musik ini merupakan akulturasi dari beberapa budaya. Musik dangdut mencampurkan lir

Istana tanpa Singgasana di Asi Mbojo

Gambar
tampak depan museum Cara termudah untuk belajar sejarah ketika berkunjung ke suatu daerah adalah mengunjungi museum. Satu pekan di Bima, Pak Imran, manajer area program kami memilihkan Hotel Lambitu yang tepat berada di tengah kota untuk kami menginap. Lima menit berjalan kaki, saya bisa setiap hari belajar di Museum Kesultanan Bima ‘Asi Mbojo’. Dalam bahasa Bima, ‘Asi’ berarti istana dan ‘Mbojo’ adalah suku bangsa Bima. Kosakata yang mirip dengan kosakata di Jawa, yaitu ‘bojo’ atau istri. Konon, salah satu pendiri Kerajaan Bima berasal dari tanah Jawa dan beristrikan orang Bima sehingga kosakata Mbojo dilekatkan pada istrinya yang berada di tanah ini.   Kesultanan Bima mendapat pengaruh Islam pada abad ke-16. Ketika itu, Bima dipimpin oleh Sultan Abdul Khair. Akan tetapi, baru pada Sultan Abdul Khair Sirajuddin atau Sultan Bima yang ke-2 lah syariat Islam diberlakukan. Hingga saat ini, nuansa Islami masih sangat terasa di kota Bima.   Saksi Sejarah Perkembangan Ko

Untuk Bu Misbah

Gambar
Foto bareng sebelum ke resepsi pernikahan Mbak Anis tahun 2011 “Mbak, Bude Misbah meninggal.” Begitu pesan singkat yang dikirimkan Uus, adik kos saya di kos Muti'ah dulu, pagi tadi. Dalam sejarah perdomisilian saya di Jogja, Kos Muti'ah adalah rumah kos pertama saya dan termasuk salah dua yang saya diami dalam waktu lama, setelah kos Nikola. Kos ini punya cerita yang baik, seperti almarhum Bu Misbah yang juga punya kenangan baik pada saya, pada kami, penghuni rumah beliau. Kos kami adalah sebuah kos Muslimah. Di tahun 2008, kalau ada sebutan kos Muslimah, tentu yang tinggal di sana adalah perempuan-perempuan Muslim dan tentu saja berjilbab. Bisa dihitung dengan satu tangan, berapa jumlah anak kos Muti'ah yang tidak berjilbab kala itu. Beberapa bahkan ada yang memutuskan berjilbab setelah tinggal di sana. Begitulah, Jogja dan kos-kosan menjadi tempat belajar yang baik. Sebagai induk semang, Bu Misbah menjaga amanah orang tua kami dengan sebaik-ba