“Tidak ada larangan dalam belajar,” – Sekolah (m)Brosot.
Sabtu (11/05), kami berencana mengunjungi sebuah sekolah
alam di daerah Brosot, Lendah, Kulon Progo. Sekolah ini terletak di perbatasan
Kabupaten Bantul dengan Kabupaten Kulon Progo. Perjalanan dimulai pukul 10 pagi
dari kawasan Bulaksumur, Sleman. Kami mengambil jalur tengah, melintasi Tugu
Jogja, daerah Bumijo, hingga sampai di Jalan Bantul. Perjalanan kami lancar,
hanya terik matahari Jogja yang menyengat yang membuat perjalanan rasanya
melelahkan. Jalanan Jogja tidak terlalu padat walaupun sedang penuh wisatawan
yang berlibur akhir pekan. Sampai di alun-alun Kabupaten Bantul, kami mengambil
arah ke Kulon Progo. Kedatangan kami di Kulon Progo disambut indahnya Sungai
Progo yang masyhur dengan penambangan pasirnya. Jembatan yang membentang di
atas sungai tampak gagah menyambut kami.
Sekolah Brosot lokasinya tidak jauh dari jembatan Progo.
Kami hanya butuh berjalan lagi sekitar 300 meter untuk sampai di sana. Sekolah
ini letaknya menyatu dengan perkampungan warga di Dusun Brosot, Desa Lendah,
Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo. Jangan bayangkan kalau tempat yang kami
kunjungi ini adalah sebuah bangunan dengan puluhan ruang kelas, ruang guru dan
kepala sekolah, UKS, perpustakaan, dan ruang ekstra kurikuler. Tidak ada sama
sekali. Sekolah Brosot ‘hanya’ sebuah rumah yang terdiri dari lima ruangan,
yaitu sebuah beranda, perpustakaan mini, perpustakaan pribadi sang pemilik,
sebuah ruang pertemuan, dan ruang belakang. Asal sekolah ini bermula dari
lelaki bernama Hersri Setiawan, seorang eks tahanan politik zaman PKI yang
dituduh sebagai anggota Lekra. Beliau pernah ditahan dalam sebuah penjara
bersama penulis terkenal, Pramoedya Ananta Toer. Meskipun berada di balik
penjara, Hersri Setiawan tidak berhenti berkarya. Ia menelurkan buku berjudul
__________________. Selain itu, Hersri juga pernah mengenyam pendidikan di
Jurusan Publisistik (Komunikasi Massa), UGM atau yang sekarang berganti nama
menjadi Jurusan Komunikasi, UGM.
Kecintaannya terhadap buku dan pendidikan membawanya ke
sebuah daerah di Brosot ini. Bersama istrinya, Ida, kemudian mendirikan
komunitas Brosot dengan sekolah alamnya. Di sini, sering kali komunitas seni di
Yogyakarta berkumpul untuk berbagi keterampilan yang dimiliki dengan anak-anak
sekitar Brosot dan sekedar berdiskusi.
Sebagai sebuah sekolah, Brosot tidak memiliki kurikulum
layaknya sekolah di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Brosot
pun tidak memiliki guru tetap dan murid tetap. Tidak ada meja tulis, bangku,
ataupun papan tulis. Aneh? Iya. Unik? Memang.
Dalam kunjungan, kami bertemu dengan pengurus sekolah
bernama Sugiyanto atau akrab disapa Yanto. Yanto sendiri selama tiga tahun
mengabdikan dirinya untuk belajar bersama di sekolah ini. Pria asal Tenggarong,
Kalimantan Timur ini pernah mengenyam pendidikan di sebuah universitas swasta
di pinggir Yogyakarta. Namun, akhirnya ia memilih keluar karena tidak setuju
dengan system pendidikan dan jauh dari angan-angannya tentang pendidikan.
Kepada kami, Yanto menceritakan tentang sekolah Brosot.
Sekolah ini sendiri memiliki lima kelas belajar, yang terdiri dari kelas
menari, melukis, teater, seni rupa, dan menyanyi. Dalam melaksanakan
pembelajaran, Sekolah Brosot tidak menggunakan jadwal pelajaran, tetapi hanya
sekedar memfasilitasi anak-anak yang datang dan keinginan mereka untuk memilih
kelas yang sesuai dengan keinginan mereka. Sejauh ini, Brosot hanya membuka
kelas untuk tingkat PAUD (pendidikan anak usia dini) dengan alasan, mereka
ingin menyisipkan nilai-nilai positif yang nantinya berguna bagi pengembangan
karakter anak. Bagaimana dengan anak yang telah duduk di jenjang sekolah lebih
tinggi? Masih menurut Yanto, mereka menerima anak-anak itu dengan tangan
terbuka dan menyesuaikan dengan kebutuhan mereka. Misalkan, ada seorang anak
bernama Deni yang dulu juga aktif di Sekolah Brosot. Saat ini Deni sudah duduk
di bangku SMA dan masih kerap datang mengunjungi sekolah Brosot. Bukan lagi
untuk mencorat-coret kanvas sesuai hobinya, tetapi sekedar berbagi cerita
remajanya. Pun demikian, fasilitator sekolah Brosot akan setia memberikan
pengarahan sesuai dengan usianya.
Bagi Yanto, sekolah Brosot hanya ingin menyelipkan sedikit
nilai-nilai kehidupan yang mulai luput dalam pendidikan formal anak-anak. Tidak
ada harapan yang berlebihan dalam pengajaran mereka. Tidak muluk-muluk ingin menjadikan
anak-anak yang belajar di sana untuk menjadi orang penting pada jabatan
tertentu.
Komentar
Posting Komentar