Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy
![]() |
Patung Selamat Datang |
Menuju Titik Awal
Perjalanan
Lebaran tahun 2017
ini, saya dan keluarga memutuskan untuk merayakan Idul Fitri di Tangerang,
bukan di Jepara, seperti tahun-tahun sebelumnya. Untuk mengisi jeda liburan
yang cukup panjang, di hari ketiga Lebaran, kami berkunjung ke Desa Kanekes
atau yang lebih dikenal dengan Desa Adat Baduy.
Sebelum berangkat,
kami mempersiapkan banyak hal, terkait transportasi, akomodasi, dan kebutuhan
logistik. Beberapa informasi sebelum berangkat ke Baduy saya dapatkan dari
beberapa travel blogger yang sudah lebih dulu menjejakkan kakinya ke Desa
Kanekes. Untuk transportasi, karena ini perjalanan keluarga, kami menggunakan
mobil pribadi dengan ayah saya sebagai sopir andalannya.
Soal akomodasi,
masing-masing anggota keluarga yang berjumlah enam orang membawa keperluan
pribadinya menggunakan tas ransel. Hindari menggunakan tas slempang, apalagi
koper. Perjalanan ini direncanakan selama satu hari satu malam. Saya menyiapkan
tiga setel pakaian termasuk yang saya pakai di hari keberangkatan. Selain itu
saya membawa alat shalat, alat mandi, powerbank, jas hujan, sleeping
bag, sarung, dan senter. Perlengkapan tersebut saya bawa karena tujuan kami
hanya sampai Baduy Luar. Di Baduy Luar, perlengkapan yang saya bawa masih boleh
digunakan dan tidak dikenai sanksi adat. Kemudian, untuk keperluan logistik,
ibu saya menyiapkan bekal makanan keluarga untuk makan malam, beberapa makanan
kering yang bisa dimasak di sana, seperti mie instan, ikan asin, dan sarden.
![]() |
Penjual Cinderamata |
Kami berangkat dari
rumah di Kota Tangerang pada pukul 8.30. Suasana Lebaran membuat jalanan masih
lengang. Dengan mobil yang berkecepatan sedang, kami menuju Kabupaten Lebak,
wilayah yang menaungi Desa Kanekes. Dari Tangerang, kami masuk lewat tol
Tangerang-Serang dan keluar di pintu tol Balaraja menuju ke Rangkasbitung untuk
selanjutnya mencari arah ke Desa Ciboleger, Lebak, yang merupakan gerbang
pertama menuju ke Desa Kanekes.
Tidak sulit untuk
menjangkau Desa Adat Baduy dengan kendaraan pribadi. Ikuti saja papan penunjuk
jalan yang mengarah ke Rangkasbitung kemudian cari Desa Ciboleger atau Desa
Adat Baduy. Untuk pengunjung yang menggunakan kendaraan umum, sependek
pengetahuan saya, bisa naik angkutan umum jenis Elf dari Terminal/Stasiun
Rangkasbitung menuju ke Desa Ciboleger. Jarak terminal/stasiun menuju desa
tersebut dapat ditempuh sekitar satu jam perjalanan.
![]() |
Anak-anak Kampung Gajeboh bermain di Sungai Ciujung |
Sekitar pukul 12.30
kami tiba di Desa Ciboleger. Kedatangan kami disambut oleh empat warga Baduy
dalam bentuk patung. Di sekeliling area tersebut banyak motor dan mobil yang
terparkir. Barangkali satu hal yang menggembirakan bagi kita, si manusia manja
yang mengaku modern, adalah kehadiran sebuah minimarket waralaba. Sebut saja
Alfamart. Toko waralaba ini menjadi satu-satunya minimarket di Desa Ciboleger.
Selain Alfamart, pengunjung yang memerlukan bekal untuk masuk ke suku Baduy
juga bisa berbelanja di beberapa toko yang ada di sebelum pintu masuk Desa
Kanekes.
Setelah sejenak
melihat-lihat lingkungan tersebut, saya mencari informasi di pintu gerbang
perbatasan Desa Ciboleger dan Desa Kanekes. Tidak sulit mencari informasi
karena banyaknya penanda di sana. Saya mengikuti beberapa orang-orang yang ada
di sana, sampailah saya pada sebuah saung kecil dengan banyak lelaki paruh baya
duduk-duduk di sana. Saya bertanya pada seseorang di sana, Pak Sarid namanya.
Setelah bernegosiasi dengan ayah saya, disepakati kami akan bermalam di salah
satu rumah milik warga suku Baduy Luar dengan biaya penginapan Rp
150.000/malam.
![]() |
Leuit, Lumbung Padi |
Pak Sarid, yang akhirnya menjadi pemandu wisata kami memasang tarif Rp 250.000 dan masih dapat dinego harganya. Sebelumnya, kami sempat bimbang, akan menggunakan jasa Pak Sarid ataukah jasa orang Baduy Dalam yang kebetulan tengah berada di Desa Ciboleger. Dengan penjelasan meyakinkan, akhirnya diputuskan Pak Sarid yang akan memandu kami untuk masuk ke dalam. Ternyata Pak Sarid tidak sendirian, ia mengajak rekannya, Kang Amad utuk turut serta. Selain menjadi pemandu wisata, Pak Sarid dan Kang Amat juga membawakan dua ransel milik ibu dan adik saya.
Setelah membayar
retribusi untuk kas desa, yang boleh dibayarkan seikhlasnya, kami mulai
memasuki perkampungan Baduy. Di kiri kanan kami berjajar saung-saung[1] yang menjual berbagai kerajinan tangan khas Baduy,
antara lain kain tenun, tas koja, dan baju adat Baduy.
Selamat Datang di
Desa Kanekes
![]() |
Masuk Kampung |
Perjalanan kami
dimulai dengan menaiki anak tangga di jalanan setapak berbatu. Dari sini,
kesunyian itu bermula. Di kanan kiri kami banyak ditanami pepohonan. Yang saya
ingat, ada bambu-bambu berukuran besar, pohon durian, semak belukar, dan
beberapa leuit[2] milik masyarakat. Kampung Gajebo
adalah tujuan kami. Satu dari 69 kampung yang ada di Desa Kanekes dengan
masyarakat suku Baduy Luar. Informasi dari Pak Sarid, perjalanan kami bisa
ditempuh sekitar 45-60 menit tergantung kecepatan dan kekuatan kami. Kalau saat
itu kami berangkat pukul 14.15, prakiraan pada pukul 15.00 kami sudah sampai di
Kampung Gajeboh.
Sepanjang jalan,
kami berjumpa dengan pengunjung lain yang baru saja kembali dari Kampung Baduy.
Ada yang berhasil sampai ke ujung Kampung Gajebo, ada beberapa yang hanya
berhasil sampai ke jembatan bambu sebelum masuk Kampung Gajeboh. Jalanan yang
kami lewati berupa tanah yang sudah diberi batu-batuan besar sehingga cukup
nyaman untuk treking. Cuaca hari itu mendung tapi tidak turun
hujan sehingga kami tidak kepanasan sepanjang melakukan treking. Jarak dari
Desa Ciboleger menuju Kampung Gajeboh sekitar dua kilometer.
Setelah melewati
jalanan lurus, kami melewati beberapa jalanan berkelok dengan tanjakan yang
cukup tinggi, tapi masih mudah dilewati karena di kanan kirinya ada
perkebunan. Bagi yang tidak terbiasa berjalan jauh, pada 10 sampai 15
menit pertama, akan terasa beratnya. Seperti adik saya yang merasakan napasnya
tersengal-sengal. Tenang saja, ada beberapa titik pemberhentian untuk sekadar
duduk atau meluruskan kaki. Pun, pengunjung tidak perlu khawatir kehabisan air
minum karena banyak penjual minuman botol dan beberapa menyediakan air kelapa
muda.
![]() |
Jalan Setapak |
Semenjak dibuka
sebagai desa adat atau desa wisata, dengan mudahnya kita akan menemui penjual
minuman bahkan penjual oleh-oleh di sepanjang jalan. Terbayang bagaimana
beratnya mereka memanggul barang-barang dagangan melewati jalanan yang
menanjak. Kami juga bertemu beberapa orang Baduy Luar dengan pakaian berwarna
hitam dan ikan kepala batik yang ke luar masuk kampung. Ada beberapa yang
menjadi porter bagi pengunjung, ada juga yang menyengaja keluar untuk
berbelanja berbagai kebutuhan.
Lelahnya perjalanan,
terbayarkan dengan rimbunnya pepohonan dan pemandangan segar berwarna hijau di
kejauhan. Nuansa asri dengan suara serangga khas hutan bisa kami dengar di
perjalanan kemarin. Rasanya serangga-serangga itu sedang berpaduan suara untuk
menyambut pengunjung yang datang ke sana.
![]() |
Penghubung |
Di perjalanan kemarin,
seingat saya, kami harus melewati tiga jembatan bambu berukuran kecil yang
menghubungkan beberapa sungai. Air yang mengalir di sungai-sungai kecil
tersebut terlihat jernih. Hingga, kami menemukan sebuah sungai besar, sungai
Ciujung namanya yang menandakan bahwa kami sudah tiba di Kampung Gajeboh.
Banyak Gazebo di
Kampung Gajeboh
![]() |
Deretan Gazebo |
Masuk ke Kampung
Gajeboh, kami disuguhi deretan rumah adat Baduy yang tersusun rapi. Juga
suasana desa yang asri dengan udara segar. Kang Amad, salah satu pemandu kami
bersama adik saya sudah menunggu di salah satu rumah yang tepat berada dekat
dengan Sungai Ciujung. Malam ini sampai besok pagi, kami akan tinggal di rumah
keluarga Ulung yang merupakan anak dari Ketua RT setempat.
Rumah saung yang kami
tinggali bermaterial kayu, bambu, dan beratap daun rumbia. Rumahnya sendiri berbentuk
rumah panggung dengan beranda luas, satu ruangan besar di dalam rumah, sebuah
kamar berukuran kecil yang disekat dengan anyaman bambu, dan sebuah dapur yang
hanya berisi tungku kayu. Rumah-rumah lainnya juga memiliki bentuk yang sama
dengan luas rumah menyesuaikan jumlah anggota keluarga yang tinggal di
dalamnya. Semua rumah tersusun rapi dengan kontur tanah berundak-undak.
![]() |
Suasana Kampung Gajeboh |
Tidak ada listrik di
Kampung Gajeboh. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, masyarakat Kampung
Gajeboh sudah mulai menggunakan lampu bertenaga surya untuk penerangan di malam
hari. Di belakang rumah ini juga tersedia sebuah kamar mandi, lengkap dengan
kloset seperti di rumah kami. Pada beberapa titik di Kampung Gajeboh juga
tersedia kamar mandi umum, yang sepertinya disiapkan untuk keperluan
sehari-hari warga kampung dan para pengunjung.
![]() |
Lampu Matahari |
Tidak jauh dari
tempat kami, ada sebuah jembatan bambu besar yang menghubungkan Kampung Gajeboh
dengan Kampung Cibeo yang masih bagian dari Baduy Luar yang berjarak sekitar
satu kilometer lagi. Kebanyakan penduduk sudah berada di rumah sore itu.Kaum
perempuan dari yang remaja hingga tua memiliki aktivitas yang sama, yaitu
menenun dan aktivitas domestik lainnya. Sedangkan kaum lelaki berladang di
ladang mereka yang lokasinya jauh dari kawasan kampung.
![]() |
Aktivitas Menenun |
Untuk makan malam,
kami sudah membawa bekal nasi matang dan lauk pauk yang kami bawa dari rumah.
Biasanya, pengunjung dapat membawa bahan makanan mentah yang kemudian dimasak
bersama di dapur milik warga. Karena kebiasaan masyarakat Baduy yang hanya menggunakan
garam sebagai bumbu masak, ada baiknya tamu membawa sendiri bumbu beraneka rupa
sesuai selera. Pilihan masakan mereka pun tidak banyak, cukup nasi dengan ikan
asin. Bagi tamu yang menginginkan makanan katering, dapat memesan berbagai menu
di Desa Ciboleger untuk nantinya diantar ke Kampung Gajeboh. Mirip dengan
sistem penginapan lainnya. Atau barangkali ada pengunjung yang belum membawa
perbekalan logistik, di Kampung Gajeboh sendiri sudah ada beberapa warung
kelontong yang menjual kebutuhan pokok.
![]() |
Menyeberangi Jembatan |
Dari cerita ibu
saya, ada beberapa kebutuhan pokok yang harganya di kota lebih murah, di sana
menjadi mahal, atau sebaliknya. Seperti sarden dan telur. Dengan pertimbangan
sulit atau tidaknya cara membawa kedua barang tersebut. Untuk beras sendiri,
tiap rumah warga memiliki simpanan masing-masing. Hanya saja, orang Baduy tidak
memasang harga. Cukup berikan uang yang sekiranya sesuai dengan jumlah beras
yang sudah digunakan oleh pengunjung.
Malam itu, makan
malam kami terasa sangat nikmat. Bersama dengan Pak Sarid dan Kang Amat dan
juga pemilik rumah, Kang Ulung dan Teteh. Kedua pemilik rumah kami tidakbanyak
bicara. Bahkan pada beberapa kesempatan, ketika saya menyapa, Teteh hanya
membuang muka dengan wajah menunduk. Hal tersebut juga saya dapati saat saya
minta izin untuk mengambil gambar bersama mereka ataupun ketika saya
mengucapkan permisi di depan mereka. Ketika saya konfirmasi ke Pak Sarid,
beberapa warga memang jarang berbicara dengan tamu karena mereka masih malu
bertemu dengan orang luar.
![]() |
Temaram Cahaya Malam |
Selepas makan malam,
kami dikunjungi oleh Pak RT atau kokolot[3]. Beliau banyak bercerita soal Kampung
Gajeboh, masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam, dan berbagai aturan adat yang
diturunkan dari nenek moyang mereka. Berbagai cerita dari Pak RT akan saya
ceritakan di bagian lain di blog saya. Pak RT yang berdasarkan peraturan adat
ini tidak pernah menempuh pendidikan formal, menuturkan ceritanya dengan sangat
runut dan dengan bahasa Indonesia yang tertata. Sangat santun. Awalnya, saya
mengira akan kebingungan berkomunikasi karena kemampuan bahasa Sunda saya pasif.
![]() |
Berbincang dengan Kokolot |
Semakin malam,
suasana hening semakin terasa. Kami hanya mendengar suara derasnya air sungai,
suara jangkrik, dan katak. Masyarakat Baduy adalah penganut keyakinan Sunda
Wiwitan sehingga sejak sore itu kami tidak mendengar suara adzan. Juga, kami
tidak mendengar kegaduhan apapun di sana, meskipun banyak anak-anak kecil.
Hening. Sepi. Tenang.
Waktu belum
menginjak pukul sembilan malam tetapi kantuk sudah mulai menyerang kami.
Ditambah hawa dingin malam dan kelelahan berjalan siang tadi semakin kuat
rasanya untuk mendekati bantal. Ada peraturan adat di Kampung Baduy Luar untuk
tidak menggunakan kasur dan bantal guling. Akan tetapi, peraturan tersebut
sudah mulai dilanggar. Kami tidur hanya beralaskan tikar tetapi tetap
menggunakan bantal. Sedangkan tuan rumah kami menggunakan kasur. Peraturan ini
mulai dilanggar bersamaan dengan penggunaan kamar mandi dan penerangan rumah
yang berasal dari lampu bertenaga surya ataupun listrik yang bertenaga aki.
Malam itu, Pak Sarid dan Kang Amad juga turut serta bermalam di rumah yang
bersebelahan dengan tempat kami untuk besok pagi setelah sarapan kembali
mengantar kami kembali ke Desa Ciboleger. (*)
[1] rumah bambu
khas Sunda
[2] lumbung padi
[3] orang yang dituakan. Berasal dari kata kolot yang berarti tua.
Terimakasih sharingnya.... menginpirasi.
BalasHapusKalo tidak perlu sewa guide bisa gak kak?
BalasHapusSangat senang dengan artikelnya, sangat rapi dan muah dipahami Backdrop Jogja
BalasHapus