Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2015

Satu Mulut, Dua Telinga.

Dalam tiga jam pertemuan saya malam ini dengan empat orang teman, satu di antaranya tidak berhenti bicara dan hal yang dibicarakan sangat tidak penting: ngomongin watak buruk orang lain yang jelas-jelas gak akan bisa diubah. Saya sudah kenal dan mengenali teman ini selama tujuh tahun dan tidak ada yang berubah dari dirinya: menguasai panggung pembicaraan. Mungkin dia lupa, kalau yang dia punya adalah satu mulut dan dua telinga. Atau mungkin dia tidak menyadari kegunaan mulut dan telinga?

Kutipan

Sudah terlalu banyak kata-kata di dunia ini, Alina, dan ternyata kata-kata tidak merubah apa-apa. Lagipula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain. -Seno Gumira Ajidarma

Vakansi

Gambar
setahun kita bekerja membanting tulang inilah waktunya kita berlibur panjang melupakan semua problema hati

#refleksi

Yap, sudah tanggal 28 dan menjadi hari ke-26 #bulanbloggingkbm. Rasanya menyesakkan sekaligus mengasyikkan. Sejak tanggal 3 Agustus lalu, tiap pagi saya disibukkan dengan mikirin ide apa yang bakal saya tulis di blog. Awalnya rajin dan udah bikin timeline pribadi buat jadwal tulisan blog. Makin hari, makin lama, akhirnya seadanya ide yang ditemui di sela-sela kegiatan antara makan, tidur, ngemil, dan nyinyir. Menulis blog jadi rutinitas baru. Saya analogikan, hidup saya sejak 3 Agustus lalu seakan di panopticon oleh admin-admin blog, macam Neli. Mau gak mau, saya nulis. Kalo lagi capek dan buntu, saya ketik seadanya demi menghindari denda 10rb rupiah. Ini juga yang terjadi bagi umat beragama Islam, agama yang sampai saat ini masih saya yakini dan penuhi rutinitasnya. Hahaha.. Sedari balig, sekitar usia 11 tahun, saya diwajibkan shalat. Karena kata Mama dan ustadz saya waktu kecil, sekali kamu meninggalkan shalat maka hukuman dari Tuhan menanti di akhirat nanti. Tambahan lagi, kata

Pasar Kangen Jogja

Sudah 15 tahun kita hidup di era milenium, era tahun 2000-an. Waktu masih kecil, kira-kira usia 8 tahun, 2 tahun sebelum memasuki era milenium, saya takut mendengar kosakata 'milenium' dan melihat angka 2000. Dalam hati saya yang masih kecil itu, tahun 2000 sepertinya suram dan seram. Berbagai isu berembus di awal tahun 2000an. Salah satunya tentang Mister Geblek yang mengerikan di kalangan anak-anak. Adalagi Mister Gepeng yang katanya meninggal karena kejepit lift. Ah, khayalan anak kecil. Setelah 15 tahun lewat dari tahun 2000, ternyata hidup saya masih begini-begini saja. Saya gak ketemu Mister Geblek atau gak ditakut-takuti Mister Gepeng.  Beranjak dewasa, saya makin dipusingkan banyak hal. Soal pilihan atau sekadar menjalani hidup. Aih, itu semua pasti dialami hampir semua orang.  Saya gak mau membahas itu. Cukup. Mari kembali ke masa lalu. Mari kembali melihat romantisme masa lalu yang dihadirkan kembali di era kini. Adalah Pasar Kangen Jogja yang tiap per

Siapa mau jadi petani

Di lokasi outbound tempat saya mencari sesuap nasi, ada paket pendidikan alam untuk anak-anak tingkat dasar. Dalam paket tersebut ada sebuah permainan yaitu najak tandur. Di sana anak-anak bisa belajar menanam padi langsung di sawah dan dan juga belajar membajak sawah bersama Pak Tani dan dua ekor kerbaunya. Pada akhir permainan bajak tandur, saya selalu bertanya ke adik-adik peserta, "Siapa yang mau jadi petani?" Lalu apa jawaban mereka? Hening! Tidak ada yang menjawab iya atau saya.  Mungkin, menjadi petani bukanlah profesi yang keren. Dilihat secara langsung, bekerja di sawah dekat dengan kekotoran dan bau matahari. Saya sendiri tidak pernah punya cita-cita menjadi petani. Sederhana saja, keluarga inti saya tidak dekat dengan pekerjaan tani. Petani di Indonesia memang bukan pilihan yang tepat. Selama ini hasil kerja mereka yang berat itu tidak diimbangi dengan hasil yang memuaskan.  *bersambung*

Kenapa?

And we live happily ever after. Kenapa orang desa berpikir nikah adl kebahagiaan hakiki? Mungkin karena hidupnya susah, lalu dia mengkhayalkan bahwa kebahagiaan bisa didapat dengan bertemunya pangeran impian. Faktor pendidikan juga. Kalo dia sekolah tinggi, dia akan merasakan bahwa hidup menawarkan banyak pilihan. Dan akan halnya hukum penawaran juga ada permintaan.

Menjadi Tua Dimana?

Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.” – Menjadi Tua di Jakarta, Seno Gumira Ajidarma. Kamu ingin menghabiskan hari tua dimana?  Saya masih berusia 25. Belum merasakan kerja mapan dengan gaji bulanan dan uang tabungan. Nafas saya bergantung di akhir pekan, apakah ada ajakan dolan atau enggak. Banyak orang bilang kalo cari duit jangan di Jogja karena hasilnya gak seberapa. Pergilah ke Jakarta karena uang berputar di sana.  Tapi saya gak pernah betah di Jakarta. Kemacetan luar biasa ditambah manusia garang yang saya temui bikin saya makin gak nyaman di ibukota. Sebagai perbandingan, di Jakarta, hidup saya habis di jalan karena macet tiada terkira. Sedang di Jogja, dalam sehari saya bisa berpindah ke tiga tempat. Saya mencintai Jogja seperti mencintai

Mau Apa?

Gambar
Hari ini di berbagai medsos yang saya punya tengah ramai foto bentuk lambang Asean yang dibuat dari formasi mahasiswa baru UGM 2015. Pembentukan formasi demikian rupa jadi kelaziman bagi PPSMB, sebutan Ospek UGM sejak 4 tahun terakhir. Pembentukan formasi ini tentu ada kaitannya dengan budaya populer flash mob dan sebagainya. Bukan. Bukan tentang ini yang saya bahas. Dulu sekali, saya masuk UGM karena kampus ini berhasil menghasilkan nama-nama besar yang memiliki kemampuan intelektual baik, bernalar kritis, dan bersikap rendah hati. Tetapi makin ke sini kok saya perhatikan, kesederhanaan sebagai ciri UGM semakin pudar. Lalu, setelah bikin formasi itu mereka mau apa?

Akhirnya..

Gambar
Bersama Mas Yatna dan Mami Vinolia, aktivis Keluarga Waria Yogyakarta. Akhirnya pertanyaan itu terjawab. Kaum transgender atau waria bukanlah sebuah perang. Mereka tidak memilih menjadi seorang waria, tetapi mereka hidup sebagai waria. Mereka tidak memilih peran hidup tapi mereka menjalankan peran yang diberikan-Nya. *bersambung*

#selfie

Gambar
Jangan salahkan teknologi kalo kita suka selfie. Bahkan presiden saat ini juga senang selfie. Maka, tak heran semua rakyat menirru cara presidennya, termasuk dosen kami.

Ilmi

Gambar
Dear Ilmi, ini masih ada kaitannya dengan cerita-cerita kita siang tadi. tentang kuliahmu, tentang teman-teman baru di Aussie, dan tentang lelaki kesayangan setelah ayah, Garin.  Mi, pertama kali lihat kamu di kampus, aku udah yakin kalau kamu gak akan bertahan lama di kampus mahal ini, Kedua kali yang bikin aku makin yakin kalau kamu lebih cocok kuliah di luar adalah kecerdasanmu yang di atas rata-rata. Ketika kamu mendiskusikan sesuatu dan aku cuma bisa melongo sambil gumam, gilak, ni anak makan apa ? dari sini, aku percaya, kamu pasti bisa bersaing dengan mereka-mereka itu. Kuliah di dalam negeri menurutku kurang memuaskan untuk orang yang punya kecerdasan intelektual macam kamu. Maka, berada di luar negeri dan berkompetisi dengan mereka-mereka yang secara keilmuan juga unggul adalah yang cukup tepat buat seorang Ilmi. Jangan lupa, setelahnya tetap memanfaatkan ilmu buat khazanah pendidikan Indonesia ya. Dear Ilmi anaknya Pak Budi, berada di perantauan memang p

Anakku bukan Anakku

Tahun 2010, saya pernah jadi tentor privat untuk siswa kelas 5 SD Syuhada'. Bimbingan saya waktu itu namanya Mas Galang. Mas Galang ini tipikal anak lelaki yang aktif. Hiperaktif malah. Tiap mau belajar, dia lari-larian dulu di sekitar rumahnya yang cukup luas. Selain lari-larian, kadang dia asik dengan mainan yang dibelinya di sekolah. Karena keaktifan dirinya, saya butuh seribu cara Untuk mendapatkan perhatiaannya sebelum masuk ke bimbingan belajar. Namanya bimbingan belajar, tentu tugas saya sebagai tentor adalah membimbing Mas Galang untuk memahami materi dari sekolah. Untuk hal ini, saya akui Mas Galang agak susah untuk tenang dan mau neperhatikan materi. Bukan berarti Mas Galang secara kognitif tidak paham materi tetapi saya melihat, Mas Galang bukan tipikal anak yang tekstual dalam belajar. Ibu Mas Galang adalah tipe ibu-ibu khawatiran dengan obsesi besar terhadap nilai sekolah. Ibunya selalu pengen Mas Galang dapat nilai sempurna. Supaya sesuai dengan standar kurikul

Jendela

Di jendela tercinta ia duduk-duduk bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa. Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi dan setiap mereka ayunkan kaki tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri. Mereka memandang takjub ke seberang, melihat bulan menggelinding di gigir tebing, meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr…. Sesaat mereka membisu. Gigil malam mencengkeram bahu. “Rasanya pernah kudengar suara byuurrr dalam tidurmu yang pasrah, Bu.” “Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,” timpal si ibu sembari memungut sehelai angin yang terselip di leher baju. Di rumah itu mereka tinggal berdua. Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku. Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi. “Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa lagi bersama.” “Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan? Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.” Selepas tengah malam mereka pulang ke ranjang dan membiarkan jendela tetap terbuka. Siapa tahu bulan akan melompat ke dalam, mene

Jogja Berhenti Nyaman

Gambar
Arogansi pengendara kendaraan bermotor di Jogja semakin menjadi. Hari ini ramai pemberitaan tentang motor gede yang seenaknya memakai jalan tanpa melihat kendaraan lainnya. Arogansi di jalan raya Jogja juga saya alami ketika mau menyebrang, entah naik motor atau ketika berjalan kaki. Kendaraan dari dua arah sama-sama gak mau kalah. Saling berkejaran tapi entah apa yang ingin dikejar. Jogja masa kini gak beda jauh dengan ibukota. Jogja sudah tidak nyaman.

Rujak

Gambar
Kalau kamu dikasih uang lima ribu perak dan diminta buat beli mangga, jambu, nanas, kedondong, timun, cabe, garam, asam jawa, terasi dan gula-- yang bisa kamu beli adalah rujak. Makanan yang pedas ini punya bermacam-macam bentuk. Di Tangerang, ada namanya rujak campur, rujak ulek, dan rujak bebek. Yang terakhir ini, seluruh buah diuleg jadi satu bersama dengan sambalnya. Di Jogja, ada yang namanya rujak es krim. Yaitu rujak serut dengan tambahan es krim.

Efek Tol Cipali

Gambar
  Musim mudik Lebaran adalah waktu yang sangat menyenangkan bagi saya. Di tiap bulan Ramadhan, doa saya yang paling kencang adalah soal jodoh  mudik. Pengalaman berlebaran di Tangerang yang terasa sepi membuat saya tidak pernah bersemangat untuk merayakan Lebaran di kota industri tersebut. Saya lahir di Jepara, numpang besar di Tangerang, didewasakan di Jogja dan berkampung halaman di Jepara. Apapun yang terjadi, saya adalah orang Jepara.  Seperti musim-musim sebelumnya yang selalu ditunggu, tahun ini kami berencana merayakan Lebaran di Jepara. H-2 Lebaran bersamaan dengan hari libur yang diberikan kantor ayah dan adik saya, kami pun kembali ke Jepara dengan mobil yang kata Pak Budiawan tidak bisa disalip. Perjalanan kali ini terasa mendebarkan karena sudah sangat berdekatan dengan hari raya dan diprediksi kepadatan kendaraan akan sampai puncaknya karena seluruh perkantoran libur di hari tersebut.  Sebelum mudik, ayah saya yang sangat aware dengan permediasosialan sudah lebih

Tangerang, antara Kekeringan atau Kebanjiran?

Pagi ini badan saya meriang. Kepala agak pusing, suhu tubuh naik, dan perut terasa mual. Ini akibat beberapa hari belakangan luntang-lantung mondar-mandir kayak setrika. Saya memutuskan untuk berdiam diri di kos untuk memulihkan tenaga. Seharian saya hanya keluar selama 10 menit untuk membeli makan siang sekaligus makan sore karena saya gak pengen merepotkan orang lain untuk membelikan makan. Di sela-sela waktu istirahat, ibu saya mengirim pesan singkat kalau di Tangerang sedang kekeringan air. Saya lalu mencari beritanya dan benar saja sebagian wilayah Tangerang kekurangan air akibat keringnya sungai Cisadane, satu-satunya sungai besar yang ada di kota berakhlakul karimah tersebut. Untuk mandi, adik-adik saya sampai harus mengungsi ke rumah budhe kami yang keran airnya masih mengalir. Lantas, ibu saya tetap membeli air untuk pasokan cuci piring di rumah. Kehabisan air di Tangerang bagi saya tidaklah mengagetkan. Di hari biasa saja, air jarang keluar dan harus bergantian dengan tet

Kenapa Kami Dilarang?

Kenapa kami (perempuan) terbatasi atas berbagai larangan? Kami dianggap sebagai penjaga moral kehidupan. Segala bentuk tutur kata kami dijaga. Tingkah laku kami ditata. Larangan itu sungguh menyebalkan buat saya, si perempuan bebal. Belakangan saya menyalahkan aturan-aturan yang bias gender tersebut. Ketika saya berkumpul dengan teman-teman laki-laki, saya memosisikan diri saya dama dengan diri mereka. Hal ini saya pilih supaya tidak ada nuansa canggung ketika mereka mau misuh atau ngomong saru. Sengaja saya menyamar supaya saya bisa mengamati mereka. Tentu tanpa mereka tau. Saya jadi paham beberapa kosakata yang seringkali diucapka teman-teman saya ketika becanda, seperti "jnck, fak, asyu" dan sebagainya. Karena sering ngobrol sama mereka, kosakata itu terinternalisasi dalam alam bawah sadar saya. Sehingga terkadang mereka kaget ketika refleks saya mengeluarkan kosakata ajaib tersebut. Teman saya heran, kata mereka, jilbaban kok misuh? Saya berdebat, lha kalau kalian

Pemeluk Agama

Dalam doaku yang khusyuk Tuhan bertanya kepadaku, hambaNya yang serius ini, "Halo, kamu seorang pemeluk agama?" "Sungguh, saya pemeluk teguh, Tuhan." "Lho, Teguh si tukang bakso itu hidupnya lebih oke dari kamu, gak perlu kamu peluk-peluk. Benar kamu pemeluk agama?" "Sungguh, saya pemeluk agama, Tuhan." "Tapi Aku lihat kamu gak pernah memeluk. Kamu malah menyegel, membakar, merusak, menjual agama. Teguh si tukang bakso itu malah sudah pandai memeluk. Benar kamu seorang pemeluk?" "Sungguh, saya belum memeluk, Tuhan." Tuhan memelukku dan berkata, "Doamu tak akan cukup. Pergilah dan wartakanlah pelukanKu. Agama sedang kesepian dan kedinginan. Dia merindukan pelukanmu." (Puisi Joko Pinurbo yang dimuat di Kompas, 9 Agustus 2015)

Sudahlah, Jangan Menasihati Orang yang Tengah Jatuh Cinta

Judul tulisan saya sangat lugas: sudahlah, jangan menasihati orang yang tengah jatuh cinta. Saya kembali merefleksikan diri saya ketika empat tahun lalu jatuh cinta pada seseorang nan tampan di mata saya. Tinggi badannya di atas saya, berbadan tegap yang rasanya nyaman sekali berada di pelukannya. Sepasang mata yang kecil dan tajam, juga sebuah senyuman dari bibir kecil, semakin membuat wajah itu kian rupawan. Bukan hanya wajah manis rupawan itu yang membuat saya jatuh cinta. Pada sifat-sifat maskulinnya yang mampu membuat perempuan menggelepar. Bagaimana tidak, belum apa-apa saya sudah dihadiahi rangkaian kata apik yang saat jika saat ini saya baca kembali rasanya gombal sekali. Juga pada hadiah-hadiah kecil yang datang kepada saya melalui cara-cara tak terduga: sebatang coklat di dalam tas, sebuket bunga pada perayaan hari jadi, dan sebuah kertas berlambang hati di depan pintu kamar yang saya tak tahu bagaimana bisa ada di sana. Cukuplah bagi saya mengenang segala hal manis itu. Sa

Paradoks Perempuan

Sejak era kesetaraan gender mulai berkembang, banyak perempuan yang gak mau lagi dibilang sebagai makhluk lemah. Oke, saya setuju soal ini. Berdasarkan sebuah buku psikologi yang saya percayai, perempuan punya kemampuan multitasking, sedangkan laki-laki cenderung hanya mampu mengerjakan 1-2 hal dalam waktu bersamaan. Oleh karena itu, coba tengok, ada seorang ibu rumah tangga yang bisa mencuci, masak, dan ngobrol dalam waktu bersamaan.  Jelas, hal tersebut menunjukkan perempuan adalah makhluk yang kuat. Yang saya pertanyakan, kalau perempuan-perempuan gak mau dianggap lemah di muka publik? Kenapa masih harus disediakan fasilitas publik yang dikhususkan untuk perempuan? Semacam gerbong kereta khusus perempuan juga pemisahan ruang di bus Transjakarta antara laki-laki dan perempuan. Lalu, di bidang lain, teknologi misalnya. Masih banyak perempuan yang menganggap bahwa teknologi adalah kuasa kaum laki-laki dan kaum perempuan bisa ikut menikmati karena kebaikan hati kaum Adam yang m

Jangan Lagi Ganggu Banci

Gambar
Siapa sih yang gak tau banci? Dengan pakaian seronok, dandanan menor, dan suntikan silikon di sana sini yang bikin muka mereka kelihatan mirip satu sama lain. Di Jogja, banci bisa dengan mudah ditemui di perempatan Sagan-Jalan Colombo, lampu merah Kalasan, dan Sunmor UGM. Crek ecrek ecrek, permisi Om~ lalu mundurlah semua teman-teman saya, terutama kalangan laki-laki. Pernah saya tanya ke teman-teman, kata mereka "gilo aku", atau jijik aku. Maaf bukan bermaksud mendiskreditkan kaum banci ya. Tulisan ini reflektif gegara siang tadi di rapat jurusan, dalam rangka Lustrum KBM UGM, ada wacana untuk mengundang komunitas transgender. Tetapi hal tsb dibatalkan karena Bisik-bisiknya, untuk mengundang mereka perlu menyediakan amplop  sebagai ganti absennya mereka dari ranah perkecrekan di lampu merah. "Aku mending ngecrek ng bangjo, iso entuk receh, mbangane mung ngerungokke profesor nyecret tapi ra entuk duit." Itu mungkin di pikiran mereka. Lantas saya merefleksikan

Baper, Apakah sebuah Encoding Decoding yang Salah?

Gambar
                Di abad millennium ini, siapa sih yang gak kenal dengan istilah baper ? Sejak sebuah akun instagram terfenomenal versi Aulia mempopulerkan istilah ini, seluruh dunia dari anak kecil hingga orang tua yang mainan instagram pasti paham banget diksi ini. Baper. Bawa perasaan. Ada juga yang mengartikan baper sebagai banci perasaan. Kalau yang ini, sebagai penganut paham kesetaraan gender, saya gak setuju. Emang salah apa sih banci-banci itu sampai dibawa-bawa dalam jagad perkosakataan negatif ? Oke, stop. Saya cuma mau bahas baper. Bawa perasaan. Istilah ini sangat mengena di kepala saya—seorang single yang hampir setahun ini gak punya pacar dan seharusnya merayakan tahun jadian keempat tanggal 5 Agustus kemarin ( tuh kan jadi baper ?!)—karena beberapa teman lelaki yang dekat dengan saya dan murni saya anggap sebagai teman menganggap hubungan ini sebagai pedekate. Oh wow, saya belum kepikiran untuk merajut hubungan dengan laki-laki, kecuali hubungan yang serius.