Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)

rumah transmigran pertama
Sorong, 10 Oktober 2017
Adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Papua. Setelah perjalanan panjang dari Bima menuju Sorong, transit Tangerang selama 8 jam. Batik Air yang saya tumpangi mendarat di Bandara Domine Eduard Osok (DEO). Sebelumnya, saya sudah janjian dengan Pak Eko Tavip dan Pak Anang Triyoso dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Sorong untuk audiensi menjelang kegiatan MDMC di Sorong dalam Bulan PRB 2017.

Pesawat mendarat tepat waktu, pukul 08.00 WIT. Dari atas pesawat saya sudah merasakan terik matahari pagi. Ini di Indonesia bagian timur, Mbak. Batin saya. Mengingat seminggu sebelumnya saya berada di Bima yang masuk waktu Indonesia bagian tengah dan sempat berada di Tangerang sebelum beranjak ke Sorong.

Sebuah pesan singkat masuk ke handphone saya, dari Pak Lestari, staf kampus STKIP Muhammadiyah Sorong yang menjemput saya dan akan mengantar saya selama berkegiatan di Sorong.

Lestari, Pelestari Generasi Transmigran Sorong
Pak Budi Setiawan dan Pak Lestari
Dari nama dan fisiknya sudah bisa ditebak, Pak Lestari adalah seorang keturunan Jawa. Usianya 33 tahun saat ini. Ia mendaku sebagai orang Perancis. Singkatan dari ‘peranakan Ciamis’. Kedua orang tuanya ikut program transmigrasi pada era pemerintahan Soeharto tahun 1979. Pak Lestari adalah anak kelima dari 5 bersaudara yang lahir dan besar di Sorong.

Program transmigrasi merupakan program dari Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Transmigrasi (semua kementerian kala itu disebut departemen). Para transmigran diambil dari wilayah Jawa, Madura, Bali, dan Lombok, empat pulau yang termasuk padat penduduk.

Pada masa Orde Baru, untuk menjadi transmigran (sebutan bagi orang yang melakukan transmigrasi) dibutuhkan beberapa syarat, yaitu warga Indonesia yang sehat dan sudah menikah; berusia muda dan tidak lebih dari 60 tahun; jumlah anggota keluarga tidak lebih dari 5 orang; tidak memiliki catatan kriminal; dan yang terpenting memiliki pengalaman bertani dann keterampilan lainnya yang dapat digunakan di tanah transmigrasi.

Pedagang di Pasar Malawele
Ketika transmigrasi di akhir tahun 70-an, orang tua Pak Lestari membawa 3 orang anak. 2 anak terakhirnya, salahsatunya adalah Pak Lestari lahir di Sorong pada tahun 1984. Keluarga transmigran yang baru tiba mendapatkan sebuah rumah dan tanah seluas 2 hingga 5 hektar di Kecamatan Aimas yang kini sudah dimekarkan menjadi Kecamatan Mariat Pantai. Rumah dan tanah tersebut hingga kini masih ada dan menjadi hak waris Pak Lestari dan keluarganya.

Pak Lestari saat ini sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak. Istri Pak Lestari seorang asli Banjar Pataruman, yang dikenalnya dari seorang saudara di Ciamis. “Saya pernah ke Jawa, Mbak. Untuk bekerja di Jakarta selama setahun. Kemudian balik lagi ke Papua. Gak lama ke Jawa lagi untuk melamar istri saya. Setelah menikah, saya bawa ke Sorong untuk berkehidupan di sini,” kata Pak Lestari yang sehari-hari mendapat amanah di bidang sarana prasarana di STKIP Muhammadiyah Sorong.

Program transmigrasi di Sorong
beberapa kebun milik transmigran
Indonesia terdiri atas 5 pulau dan yang padat hanya Jawa dan Bali. Untuk pemerataan, pada era Soeharto ke pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Di Sorong, mereka ikut program pada Repelita III tahun 1979-1984 yang memindahkan 535.000 keluarga.

Istilah "transmigrasi" mencakup pada tiga kelompok yang berbeda. Kelompok yang dominan terdiri dari para transmigran yang disponsori; mereka mendapat dukungan luas dari pemerintah selama lima tahun permukiman awal dalam bentuk transportasi, tanah, perumahan, dan layanan sosial. 

Selain itu ada kelompok transmigran lokal. Anggota kelompok ini berasal dari atau di dekat daerah pemukiman untuk dikembangkan dan mendapat manfaat yang sama dengan transmigran yang disponsori. Kelompok ketiga terdiri dari transmigran spontan. Mereka bergerak dengan biaya sendiri dan tinggal di lokasi pilihan mereka. 

Dukungan pemerintah langsung untuk kelompok ini tersedia, namun kurang dari yang diberikan kepada kelompok sponsor dan lokal. Dukungan semacam itu diberikan dalam bentuk kredit dan bukan subsidi, walaupun migran spontan terdaftar menerima jumlah lahan yang sama (2 sampai 5 hektar di antaranya biasanya hanya 1,25 hektar yang benar-benar dibersihkan) dan mendapatkan keuntungan dari layanan sosioekonomi yang sama seperti transmigran yang disponsori (Leinbach,: 24)

Transmigrasi di Papua lebih banyak berpusat di lokasi ladang minyak utama di Sorong dan Manokwari, Papua Barat, yang aman dan stabil. Sorong menjadi kota strategis sebagai daerah tujuan transmigrasi selain sebagai kota pelabuhan dan menjadi gerbang pulau Papua, kota ini juga merupakan arus perdagangan. Potensi kelautan dan berbagai aktivitas jasa. Sebagai pintu gerbang masuknya berbagai aktivitas perdagangan dan pertukaran jasa, kota ini bergerak dinamis.  

Transmigran, Penggerak Kehidupan
Aktivitas pagi di Pasar Malawele
Di awal kehidupan mereka di lokasi transmigrasi, tiap rumah tangga mendapat perlengkapan kebutuhan rumah tangga yang dibeli dengan sistem kredit. Kemudian, untuk mata pencaharian sebagai petani, pemerintah menyediakan produk-produk pertanian, sepertu bibit, pestisida, pupuk, dan alat-alat pertanian lainnya.

Transmigran di sana menjadi fasilitator dan penggerak dalam berbagai sektor kehidupan. Para transmigran ini membangun infrastruktur jalan, mengolah lahan pertanian, perladangan, dan membangun fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Daerah asal transmigran pertama adalah dari Ciamis yang menempati wilayah Malawele di Aimas. Mereka tinggal di wilayah yang juga lebih dikenal sebagai Satuan Permukiman 1 atau SP-1. Istilah yang disematkan untuk kampung transmigran pertama di Sorong. Di SP-1 ini terdapat juga Kampung Jogja dan Kampung Kebumen.

Di Kampung Jogja, masyarakat transmigran membangun sekolah dari tingkat TK-SMA di bawah naungan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Sorong. Ketika berkunjung kesini, saya merasakan seperti bukan di Papua karena masih ada beberapa penduduk yang fasih berbahasa Jawa.

Akan tetapi, untuk generasi ketiga, kebanyakan hanya paham bahasa Jawa pasif. “Kalau Mbak Aulia bicara bahasa Jawa, saya paham, Mbak, maksudnya. Tapi saya kebingungan menjawabnya.” kata Pak Sobirin, keturunan Ponorogo yang lahir dan besar di Sorong.

Sorong, Pintu Masuk Beragam Suku
mushola transmigran pertama
Terbukanya pintu masuk di Sorong yang memungkinkan banyaknya pendatang di sana, terlihat jelas komposisi penduduk di Kota dan Kabupaten Sorong. Masyarakat di kota Sorong didominasi oleh pendatang dari suku Bugis dan Buton. Mereka tinggal di pinggiran pantai dan di beberapa titik di pusat kota. Aktivitas utama selain sebagai nelayan adalah berdagang. Sedangkan di kabupaten Sorong, didominasi oleh warga transmigran dari Jawa, Sunda, Madura.  

Mayoritas kesukuan tersebut terrepresentasikan dalam struktur politik di Sorong. Walikota Sorong berasal dari suku Moi dan Wakil Walikota dari suku Bugis. Di kabupaten, Bupati berasal dari suku Moi dan Wakil Bupati dari suku Jawa, seorang keturunan Pacitan. Hal ini bukan tanpa sebab, mengikuti mayoritas massa di sana.

Ketika saya berkesempatan berbelanja di Pasar Malawele, Kabupaten Sorong, saya disambut oleh lagu dangdut koplo berbahasa Jawa. Papua rasa Jawa, batin saya. Perputaran ekonomi di pasar ini didominasi oleh orang Jawa. Mereka menjual sembako dan berbagai makanan dan produk olahan, sedangkan masyarakat asli Papua yang menjual hasil bumi dan perkebunan. Saya mengamati mereka menjual umbi-umbian, sayur mayur, dan pinang. 

Saya sempat menanyakan, apa ada keinginan untuk kembali ke Jawa, beberapa dari warga di sana menyatakan belum ada niatan ke sana. “Kami sudah kerasan di sini, lagi pula orang tua dan keluarga besar kebanyakan memang sudah menetap di Sorong,” tambah pria yang sehari-hari menjadi guru di SMK Muhammadiyah Aimas.  

“Ada juga beberapa orang yang tidak betah berada di sini. Mereka kemudian menjual rumah dan tanahnya untuk kembali ke daerah asal.” terang Pak Lestari.

(....bersambung...)

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Soto Terenak di Sekitar Kampus UGM versi Aulia

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy