Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2017

Perempuan-Perempuan Penjaga Tradisi Tenun Baduy

Gambar
Seorang perempuan separo baya duduk tenang di depan alat penenun. Khusyuk ia mulai memintal benang-benang berwarna merah yang dikombinasikan dengan warna biru. Benang-benang tersebut mulai membentuk sebuah kain panjang dengan motif segi empat. Di rumah seberang, seorang perempuan lainnya dengan usia lebih muda melakukan hal yang sama. Ketika mengunjungi kampung Baduy Luar di Desa Kanekes, beranda rumah yang diisi dengan aktivitas perempuan sedang menenun menjadi pemandangan di sepanjang perjalanan. Perempuan suku Baduy menjaga tradisi membuat tenun untuk pakaian mereka. Hampir tiap rumah memiliki seperangkat alat menenun yang terbuat dari sebilah papan dan bambu. Perempuan-perempuan Penenun Seperti halnya suku-suku lain dalam khazanah keragaman seni Nusantara, suku Baduy memiliki kain tenun khasnya sendiri. Kain tenun ini dibentuk dari pilinan benang. Kain tenun Baduy bermotif garis-garis geometris yang terinspirasi dari alam dengan bentuk garis lurus, segi empat, seg

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy

Gambar
Patung Selamat Datang Menuju Titik Awal Perjalanan Lebaran tahun 2017 ini, saya dan keluarga memutuskan untuk merayakan Idul Fitri di Tangerang, bukan di Jepara, seperti tahun-tahun sebelumnya. Untuk mengisi jeda liburan yang cukup panjang, di hari ketiga Lebaran, kami berkunjung ke Desa Kanekes atau yang lebih dikenal dengan Desa Adat Baduy.                   Sebelum berangkat, kami mempersiapkan banyak hal, terkait transportasi, akomodasi, dan kebutuhan logistik. Beberapa informasi sebelum berangkat ke Baduy saya dapatkan dari beberapa travel blogger yang sudah lebih dulu menjejakkan kakinya ke Desa Kanekes. Untuk transportasi, karena ini perjalanan keluarga, kami menggunakan mobil pribadi dengan ayah saya sebagai sopir andalannya. Soal akomodasi, masing-masing anggota keluarga yang berjumlah enam orang membawa keperluan pribadinya menggunakan tas ransel. Hindari menggunakan tas slempang, apalagi koper. Perjalanan ini direncanakan selama satu hari satu malam. Saya

Lebaran dan Kesenjangan Sosial

Gambar
Menjelang Lebaran apa yang paling ramai? Masjid? Pusat kegiatan agama? Mushola?  Pertanyaan retoris yang akan selalu didengungkan tiap tahun. Sependek penglihatanku, yang paling ramai adalah toko kue dan penunjangnya, seperti penjual perkakas rumah tangga, toko pakaian, ataupun pasar. Beberapa kali kuhampiri Pasar Beringharjo atau Malioboro Mall semua penuh sesak dengan orang-orang yang mengerubungi Sale Pakaian Beli 1 Gratis 1. Seperti yang juga kulakukan. Toko kue pun tak kalah ramainya. Toko cemilan Sukses kemarin berhasil menyukseskan kemacetan jalan Jogja menjelang Lebaran. Tokonya penuh sesak dengan orang-orang yang berburu cemilan.  Soal kue Lebaran dan aneka cemilan, momen Lebaran selalu menjadi ajang silaturahmi atau 'open house' istilah keren ala-ala masyarakat kekinian. Lazimnya orang Indonesia, tentu akan menyuguhkan panganan untuk tamu-tamu yang hadir. Orang-orang akan berlomba-lomba menyediakan kue lebaran. Tiga sampai lima macam belumlah pantas. Semakin

Memaknai Puasa

Gambar
Setelah berhari-hari berpuasa, aku memaknai puasaku sendiri. Adakah aku sudah menahan diri untuk tidak makan dan minum di siang hari? Rasa-rasanya tidak sepenuhnya demikian. Usiaku sudah 27 tahun, sudah wajib puasa sejak 16 tahun lalu. Puasaku masih sama seperti pertama kali aku belajar puasa. Masih kerap membayangkan makanan-makanan yang enak.Jangan-jangan, seperti kata Gus Mus, puasaku hanya memindahkan jam makan dan minum pada saat terbenamnya matahari.  Seharusnya puasaku beranjak dewasa. Tidak hanya sekadar menahan lapar dan haus saja.  Ada yang lebih penting dari itu. Bagaimana aku melatih pikiranku untuk tidak memikirkan hal-hal yang dilarang Allah. Bagaimana aku melatih pendengaranku, penglihatanku, pembicaraanku pada sesuatu yang baik yang menjadikanku manusia yang baik. Syukur-syukur bisa bermanfaat untuk orang lain. Pada satu masa, puasaku bersanding dengan konsumerisme. Sebulan sebelum berpuasa, aku tidak menyiapkan diri dengan ilmu, padahal sebuah kegiatan atau seb

Dakwah bil Hal, Dakwah di Mal*

Gambar
Muhammadiyah Expo Sebulan lalu seorang sahabat menghubungi saya. Ia mengajak saya berkunjung ke Blok M Square, Jakarta Selatan, untuk mengikuti kajian seorang ustadz yang tengah naik daun. Ngaji kok di mall , batin saya. Ternyata, masjid ini rutin mengadakan kajian tematik dengan pembicara yang ahli di bidangnya. Mirip dengan kajian-kajian keagamaan yang kerap saya temui di mimbar-mimbar masjid atau ruang diskusi lain di sekitaran kampus Jogja .  Belakangan saya ketahui, Blok M Square memiliki sebuah masjid indah nan megah yang berada di lantai paling atas bangunannya. Masjid ini tidak hanya digunakan oleh pengunjung mal untuk melakukan ibadah shalat 5 waktu ketika mereka tengah berada di pusat perbelanjaan tersebut. Masjid ini juga memiliki pengelola khusus atau takmir masjid sebagaimana masjid pada umumnya. Jangan bayangkan kita akan shalat di sebuah ruang sempit yang hanya mampu menampung sedikit orang. Masjid di dalam pusat perbelanjaan dibangun megah dengan interior yang