Sate Klathak, Rasa Nikmat di Jeruji Sepeda

Seperti biasa, Sabtu sore ini, Jogja padat dan sesak. Terlebih tanggal merah, hari libur perayaan Waisak. Jogja yang selalu ramai oleh wisatawan, terutama pada akhir pekan, membuat kota ini terasa ketat.

Menghilangkan jenak, kami menuju selatan dari kampus Gadjah Mada ke arah kawasan Jalan Imogiri Barat, Bantul. Diiringi mendung yang menggelayut, kami menaiki motor dengan kecepatan sedang. Ada sesuatu yang khas di lokasi itu yang ingin kami nikmati. Ya, kami berniat memanjakan lidah dengan kuliner sate klathak khas Bantul. Jika traveler berkesempatan mengunjungi Jogja dan bosan dengan kuliner di kota, tidak ada salahnya untuk mencicipi aneka kuliner di kawasan ini.

Kami melewati jalur dalam kota hingga menemui perempatan antara Kota Yogyakarta tepatnya terminal bus Giwangan dan ring road timur. Memasuki kawasan Jalan Imogiri Barat, sepanjang jalan mudah ditemui aneka makanan pilihan. Ada soto, bakso, dan mi ayam. Ketiga makanan tersebut adalah makanan “sejuta umat” karena selalu hadir di segala tempat dan suasana.

Masuk sekitar satu kilometer dari Jalan Imogiri Barat, kami menemukan deretan penjual sate klathak. Rintik hujan yang turun membuat kami akhirnya memilih untuk mencicipi sate klathak di warung Pak Jito. Lokasinya tepat di depan SMK Negeri 1 Pleret. Warung makan ini tidak terlalu ramai pula tidak terlalu sepi sehingga kami tidak perlu mengantre lama. Kami memesan seporsi sate klathak dan tengkleng kambing.

Mungkin banyak di antara traveler yang belum familiar dengan istilah sate klathak. Sate klathak adalah sate kambing yang dibakar dengan menggunakan jeruji besi sepeda. Jangan langsung membayangkan jeruji kotor bekas genangan tanah yang dilewati roda sepeda. Yang dimaksud jeruji sepeda adalah tusukan dari besi sebagai pengganti tusukan bamboo yang lazim digunakan pada sate umumnya. Seporsi sate klathak hanya terdiri dari dua tusuk dan satu tusuk terdiri dari delapan potongan daging kambing. Bumbu yang digunakan untuk membakar sate klathak pun hanya garam dan bawang putih. Sate ini tidak hitam layaknya sate lain.

Sate klathak yang disajikan dengan sedikit kecap, merica, irisan bawang merah, timun, dan kol. Di warung Pak Jito sendiri, ada tiga jenis sate yang dijajakan, yaitu sate goreng, sate kecap, dan sate klathak. Seporsi sate klathak dihargai Rp 10.000. Cukup murah, bukan? Tidak hanya itu, warung yang telah berdiri sejak delapan tahun lalu itu juga menjual olahan kambing lainnya, seperti tongseng, tengkleng, dan gule. Soal rasa, tidak usah khawatir. Sate klathak memiliki rasa yang unik, perpaduan antara asin dari garam yang dilumuri di daging, manisnya kuah kecap, dan daging kambing yang empuk.

Kami sempat terpikir dengan sebuah teori memasak bahwa untuk membuat daging cepat empuk, masukkan sendok atau benda yang terbuat dari besi ke dalam rebusan daging. Mungkin ini juga berlaku pada sate klathak. Penggunaan besi yang berfungsi menghantarkan panas membuat daging menjadi empuk.

Demikian pula dengan tengkleng yang kami pesan. Bumbu yang meresap pada potongan daging yang masih menempel dengan tulang-tulang kambing terasa nikmat sampai ke dalam tulang. Rasanya tak ingin berhenti untuk menyesapi campuran rasa manis kecap, rempah, dan potongan cabe.

Selesai menikmati hidangan, tak lupa kami minum. Kami telah memesan segelas teh manis hangat. Kembali kami menemukan keunikan. Ternyata, teh tersaji dalam dua gelas. Segelas ukuran gelas belimbing berisi teh tubruk yang sudah disaring daunnya dan gelas lainnya berukuran setengah gelas belimbing berisi teh tubruk lengkap dengan daunnya. Teh manis ini semakin manis karena menggunakan gula batu. Seporsi sate klathak, sepiring tengkleng, dan teh hangat adalah sisi lain dari romantisme Jogja. Sebuah pilihan kuliner yang wajib dicoba! (AT)

Komentar

  1. "Selesai menikmati hidangan, tak lupa kami minum..." harusnya tak lupa membayar dong.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Soto Terenak di Sekitar Kampus UGM versi Aulia

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy

Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)