Perempuan-Perempuan Penjaga Tradisi Tenun Baduy
Seorang perempuan separo baya duduk tenang di depan alat penenun. Khusyuk ia mulai memintal benang-benang berwarna merah yang dikombinasikan dengan warna biru. Benang-benang tersebut mulai membentuk sebuah kain panjang dengan motif segi empat. Di rumah seberang, seorang perempuan lainnya dengan usia lebih muda melakukan hal yang sama.
Ketika mengunjungi
kampung Baduy Luar di Desa Kanekes, beranda rumah yang diisi dengan aktivitas
perempuan sedang menenun menjadi pemandangan di sepanjang perjalanan. Perempuan
suku Baduy menjaga tradisi membuat tenun untuk pakaian mereka. Hampir tiap
rumah memiliki seperangkat alat menenun yang terbuat dari sebilah papan dan
bambu.
![]() |
Perempuan-perempuan Penenun |
Seperti halnya suku-suku
lain dalam khazanah keragaman seni Nusantara, suku Baduy memiliki kain tenun
khasnya sendiri. Kain tenun ini dibentuk dari pilinan benang. Kain tenun Baduy
bermotif garis-garis geometris yang terinspirasi dari alam dengan bentuk garis
lurus, segi empat, segi tiga, maupun bulatan. Jika selama ini kita mengingat
Baduy dengan warna-warna hitam dan putih, kain tenun Baduy, terutama Baduy Luar
justru berwarna-warni. Tidak monoton hanya dengan dua warna tersebut.
Kain tenun Baduy
dibentuk dari bahan kapas yang dipintal hingga menjadi benang. Dari benang kemudian
proses tersebut dilanjutkan hingga menjadi kain tenun. Benang bahan baku kain
didatangkan dari Majalaya, Bandung. Ada pemasok yang akan mengirimkan
benang-benang tersebut ke sebuah toko di luar Kampung Baduy.
![]() |
Benang Kain |
Masyarakat Baduy
adalah sebuah suku bangsa yang memiliki kemandirian sikap. Perwujudan dari
kemandirian itu salah satunya melalui pakaian. Mereka menenun sendiri pakaiannya
alih-alih menggunakan bantuan mesin. Keseragaman pakaian menjadi ciri khas
mereka.
Kain tenun tidak hanya berfungsi sebagai penutup badan
yang melindungi pemakainya dari panas dan dinginnya udara atau digunakan untuk keperluan
domestik seperti menggendong bayi. Kain tenun Baduy mengandung arti
kesederhanaan dan kebersahajaan hidup dari masyarakat Baduy. Untuk menenun satu
lembar kain ini memerlukan waktu mulai dari hitungan hari hingga
berbulan-bulan. Lamanya proses ini disebabkan oleh besarnya kain dan kerumitan
motif.
Menjaga Tradisi
Kain tenun baduy
dihasilkan oleh kaum perempuan suku Baduy. Berdasarkan peraturan adat, kaum
lelaki tidak diperbolehkan untuk menenun. Sebagaimana pola pembagian kerja pada
masyarakat tradisional, kaum lelaki pergi ke luar rumah untuk mengurus ladang
dan mencari lauk pauk, sedangkan kaum perempuan berada di rumah untuk membuat
tenun, mengurus anak, dan memasak.
![]() |
Generasi Muda Penenun |
Proses tenun biasanya
dilakukan setelah musim panen karena di masa-masa tersebut kaum perempuan tidak
disibukkan untuk mengolah hasil panen. Proses menenun yg membutuhkan waktu panjang mengajarkan nilai ketekunan dan kedisiplinan yang ditanamkan sejak dini kepada anak-anak di keluarga Baduy.
Namun demikian, aktivitas menenun bukanlah
pekerjaan sambilan bagi perempuan Baduy. Masyarakat Baduy meyakini tiada hari tanpa bekerja. Jika pekerjaan di ladang sudah panen, mereka akan kembali ke rumah untuk menenun.
![]() |
Alat Menenun |
Seorang
perempuan yang lebih tua di akan mengajarkan anak perempuannya untuk menenun dan seterusnya. Regenerasi dari nenek moyang kepada perempuan-perempuan yang lebih muda sebagai tanda bahwa warga Baduy masih menjaga kelestarian tradisi. Tidak berhenti di diri sendiri. Kegiatan menenun merupakan
bukti ketekunan dan ketaatan perempuan Baduy terhadap adat.
![]() |
Regenerasi Penenun
Teknik menenun menggunakan
seperangkat alat tenun manual. Masing-masing rumah memiliki alat tenun sendiri.
Seiring perkembangan zaman, bukan tak mungkin warga Baduy mengganti alat tenun
manual dengan mesin. Namun, mereka masih menganggap itu sebagai bagian dari nilai
kesederhanaan mereka. "Orang Baduy masih memegang teguh prinsip hidup, sare
tambah teu tunduh, ngawadang tambah teu lapar, make tambah teu taranjang. Ungkapan
tersebut berarti ‘tidur sekadar pelepas kantuk, makan sekadar pelepas lapar,
berpakaian untuk menutup badan," kata Kokolot Kampung Gajeboh.
Kain tenun Baduy dipercaya mengandung makna-makna
simbolis yang berhubungan dengan tradisi dan kepercayaan orang Baduy. Kain ini
juga berfungsi sebagai identitas adat yang melambangkan eksistensi mereka.
Motif dan warna tenunan menjadi pembeda antara Baduy Luar dan Dalam. Pada
masyarakat Baduy Luar yang seringkali berinteraksi dengan masyarakat di luar
Baduy, lebih banyak pilihan corak kain dengan berbagai warna. Sedangkan Baduy
Dalam yang masih kuat memegang tradisi dan pantangan, warna kain hanya pada
pilihan warna gelap, seperti hitam, biru tua, ataupun putih. Bentuk dan corak
yang dipilih bukan hanya karena unsur estetika saja tetapi berkaitan dengan
ciri khas adat budaya.
|
![]() |
Ragam Corak Tenun |
Kain
Tenun Melanglang Buana
Kain tenun Baduy
awalnya dibuat hanya untuk memenuhi kebutuhan sandang warga Baduy. Seiring
perkembangan zaman, perubahan sosial warga Baduy, dan masuknya wisatawan ke
desa mereka, kain tenun ini diperjualbelikan bebas.
![]() |
Kiciran Benang |
Beberapa kios berjajar
di depan pintu masuk Desa Kanekes. Di lingkungan Kampung Gajeboh sendiri, beberapa
rumah juga memamerkan hasil tenunannya dan tak jarang pengunjung membeli
langsung dari warga. Kain tenun Baduy berkembang tidka hanya dibuat menjadi
kain panjang, tetapi juga syal, selendang, dan sarung dengan berbagai motif dan
warna. Selembar kain tenun Baduy dihargai mulai dari Rp 50.000 hingga Rp
300.000, tergantung banyaknya kain, kerumitan corak, dan lama proses pembuatan.
Kain ini biasanya dijadikan cinderamata atau tanda seseorang pernah berkunjung
ke Baduy.
![]() |
Ruang Pamer |
Interaksi warga Baduy Luar dengan masyarakat di luar
suku Baduy membuat beberapa perubahan sosial di sana. Ketika Desa Kanekes
menjadi salah satu desa wisata, kemudian diikuti dengan pembangunan sarana dan
prasarana untuk menunjang konsep desa wisata dan memudahkan kepentingan
pengunjung yang datang ke kampung Baduy.
*observasi dan wawancara dengan Kokolot dan perempuan penenun di Kampung Gajeboh, 27-28 Juni 2017
Komentar
Posting Komentar