Dakwah bil Hal, Dakwah di Mal*
![]() |
Muhammadiyah Expo |
Belakangan saya ketahui, Blok M Square memiliki sebuah masjid indah nan megah yang berada di lantai paling atas bangunannya. Masjid ini tidak hanya digunakan oleh pengunjung mal untuk melakukan ibadah shalat 5 waktu ketika mereka tengah berada di pusat perbelanjaan tersebut. Masjid ini juga memiliki pengelola khusus atau takmir masjid sebagaimana masjid pada umumnya.
Jangan bayangkan kita akan shalat di sebuah ruang sempit yang hanya mampu menampung sedikit orang. Masjid di dalam pusat perbelanjaan dibangun megah dengan interior yang membuat nyaman pengunjung. Ruangannya pun memungkinkan untuk pengunjung bisa mengikuti shalat berjamaah tanpa harus mengantre, bergantian menunaikan ibadah shalat.
Berdasarkan penelusuran saya lewat jejaring internet, selain Blok M Square, pusat perbelanjaan lain yang juga memiliki tempat ibadah khusus, antara lain Grand Indonesia Shopping Town dan Senayan City. Lain di Jakarta, lain juga di Jogja. Sependek pengamatan saya, Ambarukmo Plaza salah satu mal di Jogja yang memiliki satu bangunan tersendiri untuk beribadah. sama seperti di Blok M Square, masjid tersebut berada di lantai atas plaza. Akan tetapi, hingga saat ini, saya belum mendapatkan informasi apakah masjid di Ambarukmo Plaza juga mengadakan kajian keagamaan rutin atau tidak.
Dakwah
di Mal: Negosiasi yang Profan dengan yang Sekuler
Mal menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari gaya hidup masyarakat urban. Di tempat ini, masyarakat bisa dengan mudah membeli kebutuhan sehari-hari hingga berbagai kebutuhan penunjang gaya hidup. Sejarahnya, mal diciptakan untuk perempuan kelas menengah di Barat yang ingin menunjukkan keberdayaan diri mereka kepada publik. Mal juga digunakan sebagai lambang kebebasan dari peran-peran domestik yang dibebankan kepadanya.
Selama ini, mal diidentikkan dengan hal yang berbau konsumerisme. John Fiske (1989) mengatakan bahwa mall sebagai ‘cathedral of consumption’, sebagai metafora konsumerisme dimana komoditas menjadi ikon pemujaan dan ritual pertukaran uang dengan barang menjadi sesuatu yang suci.
Dengan metafora tersebut, berdakwah
di dalam mal menjadi arena pertempuran ekonomi dan ideologi juga hegemoni dan
praktik strategi. Dalam budaya Muslim, pergi ke mal atau pergi ke pasar
diperlukan kehati-hatian karena pasar dekat dengan ‘setan’ yang akan membuat
terlena dan menjadikan waktu yang kita miliki sia-sia saja. Apalagi godaan
diskon dan pajangan barang dengan merek tertentu yang tak jarang membuat
pengunjung menjadi impulsif untuk membeli barang sesuai keinginan bukan
kebutuhan.
Di era modern, sesuai dengan minat masyarakat yang menginginkan kepraktisan dalam berkegiatan, manajemen mal membangun mal sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan prinsip efisiensi. Pembangunan masjid di dalam mal merupakan prinsip efisiensi tersebut. Ketika pengunjung datang ke mal, tidak hanya berbelanja sebagai hiburan tersendiri, juga kebutuhan spiritual melalui pengajian yang diadakan di masjid dalam mal.
Mal menjadi ruang publik yang bertransformasi. Dari sekadar pusat perbelanjaan, juga menjadi tempat orang menimba ilmu. Tentu, tetap menggunakan strategi pasar untuk menggaet pengunjung agar tetap berbelanja sambil mendengarkan kajian agama.
Pendakwah
di Mal
Kajian keagamaan yang rutin diadakan
di masjid dalam mal mengangkat tema permasalahan kehidupan sehari-hari. Mengingat
masjid di mal adalah ruang publik yang dapat diakses oleh semua orang tanpa
melihat golongan organisasi tertentu, maka kajian dan pengkaji yang hadir pun
dipilih sesuai dengan tema kajian dalam konteks global agar cocok untuk
kehidupan pengunjung mal yang kebanyakan kelas menengah, terpelajar, dan
tinggal di wilayah urban.
Persoalan identitas dan konsumsi, tata cara ibadah, hingga persiapan jangka panjang sebagai umat Muslim menuju akhirat menjadi tema kajian rutin dibandingkan tema-tema politis agama. Pengkaji yang hadir pun dipilih dengan gaya kajian yang tidak terlalu formalis. Beberapa nama pendakwah memberikan isi dakwahnya berdasarkan Islam yang secara sosial lebih konservatif.
Persoalan identitas dan konsumsi, tata cara ibadah, hingga persiapan jangka panjang sebagai umat Muslim menuju akhirat menjadi tema kajian rutin dibandingkan tema-tema politis agama. Pengkaji yang hadir pun dipilih dengan gaya kajian yang tidak terlalu formalis. Beberapa nama pendakwah memberikan isi dakwahnya berdasarkan Islam yang secara sosial lebih konservatif.
Pengalaman saya pribadi yang tumbuh
di kota urban, mayoritas masyarakat mendapatkan pelajaran agama dari sekolah
formal yang diberikan hanya selama 2 jam pelajaran dalam seminggu, tanpa
tambahan ilmu dari kegiatan non formal, seperti pesantren ataupun taman
pendidikan Al-Quran. Kekeringan spiritual tanpa akar pemahaman agama seakan
mendapatkan oase baru dalam hidup mereka.
Muhammadiyah
dan Dakwah di Mal
Melihat kultur baru masyarakat urban dalam menyampaikan dakwah, Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat Muslim yang besar di Indonesia juga mulai menyampaikan dakwahnya di ruang-ruang publik yang dianggap belum lazim. Sependek pengamatan penulis, Muhammadiyah melalui Suara Muhammadiyah sudah kali kedua mengadakan kegiatan berskala nasional di Jogja City Mall dan Hartono Mall dalam kegiatan Muhammadiyah Expo.
Menurut Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah seperti dikutip dalam laman suaramuhammadiyah.id menyebutkan bahwa kegiatan dakwah di mal bukanlah kegiatan yang salah, justru ini menjadi tantangan bagi Muhammadiyah untuk mampu menghadirkan Islam dan Persyarikatan dalam ruang publik yang berbeda. Muhammadiyah menjadikan dakwah di mal sebagai gerakan dakwah kultural.
Barangkali strategi berdakwah yang sudah dilakukan Muhammadiyah melalui Muhammadiyah Expo dapat dimasifkan keberadaannya. Mengingat selama ini kajian keagamaan dari organisasi kemasyarakatan ini masih berada di ruang-ruang eksklusif, dihadiri sebatas orang-orang yang mendeklarasikan diri sebagai bagian dari kedua ormas tsb. Sehingga masyarakat awam merasa takut-takut untuk mengikuti kajian karena merasa bukan bagian dari mereka. (*)
Melihat kultur baru masyarakat urban dalam menyampaikan dakwah, Muhammadiyah sebagai organisasi masyarakat Muslim yang besar di Indonesia juga mulai menyampaikan dakwahnya di ruang-ruang publik yang dianggap belum lazim. Sependek pengamatan penulis, Muhammadiyah melalui Suara Muhammadiyah sudah kali kedua mengadakan kegiatan berskala nasional di Jogja City Mall dan Hartono Mall dalam kegiatan Muhammadiyah Expo.
Menurut Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah seperti dikutip dalam laman suaramuhammadiyah.id menyebutkan bahwa kegiatan dakwah di mal bukanlah kegiatan yang salah, justru ini menjadi tantangan bagi Muhammadiyah untuk mampu menghadirkan Islam dan Persyarikatan dalam ruang publik yang berbeda. Muhammadiyah menjadikan dakwah di mal sebagai gerakan dakwah kultural.
Barangkali strategi berdakwah yang sudah dilakukan Muhammadiyah melalui Muhammadiyah Expo dapat dimasifkan keberadaannya. Mengingat selama ini kajian keagamaan dari organisasi kemasyarakatan ini masih berada di ruang-ruang eksklusif, dihadiri sebatas orang-orang yang mendeklarasikan diri sebagai bagian dari kedua ormas tsb. Sehingga masyarakat awam merasa takut-takut untuk mengikuti kajian karena merasa bukan bagian dari mereka. (*)
Bahan
bacaan:
John
Fiske (1989) Shopping for Pleasure: Malls, Power, and Resistance.
George
Ritzer (2010) Teori Sosiologi Modern, terjemahan Kencana Premedia Group. Gambar dari sini
ditulis untuk #KultumVirtual IMM BSKM
pernah dimuat di:
http://www.suaramuhammadiyah.id/2017/06/12/dakwah-bil-hal-dakwah-di-mall/
Komentar
Posting Komentar