Istana tanpa Singgasana di Asi Mbojo
![]() |
tampak depan museum |
Cara termudah untuk belajar sejarah ketika berkunjung ke
suatu daerah adalah mengunjungi museum. Satu pekan di Bima, Pak Imran, manajer
area program kami memilihkan Hotel Lambitu yang tepat berada di tengah kota
untuk kami menginap. Lima menit berjalan kaki, saya bisa setiap hari belajar di
Museum Kesultanan Bima ‘Asi Mbojo’.
Dalam bahasa Bima, ‘Asi’ berarti
istana dan ‘Mbojo’ adalah suku bangsa Bima. Kosakata yang mirip dengan kosakata
di Jawa, yaitu ‘bojo’ atau istri. Konon, salah satu pendiri Kerajaan Bima berasal
dari tanah Jawa dan beristrikan orang Bima sehingga kosakata Mbojo dilekatkan
pada istrinya yang berada di tanah ini.
Kesultanan
Bima mendapat pengaruh Islam pada abad ke-16. Ketika itu, Bima dipimpin oleh
Sultan Abdul Khair. Akan tetapi, baru pada Sultan Abdul Khair Sirajuddin atau Sultan
Bima yang ke-2 lah syariat Islam diberlakukan. Hingga saat ini, nuansa Islami
masih sangat terasa di kota Bima.
Saksi Sejarah Perkembangan Kota
![]() |
tampak samping |
Museum
Asi Mbojo berlokasi di pusat kota Bima. Di sebelah barat museum ada Lapangan
Sera Suba atau Lapangan Merdeka. Dalam bahasa Bima sendiri, Sera Suba berarti
tanah yang lapang. Lapangan ini menjadi tempat berinteraksi masyarakat kota
Bima. Jika sore menjelang, berbagai aktivitas dilakukan masyarakat disini.
Mulai dari berjualan pakaian dan makanan, berolahraga, ataupun berkumpul dengan
teman dan kerabat.
Kemudian,
di sisi selatan museum, berdiri Masjid Sultan Muhammad Salahudin. Masjid ini
diperkirakan berusia tiga abad dan masih kokoh berdiri hingga saat ini. Masjid
Sultan Muhammad Salahudin sendiri terdapat beberapa makam keluarga kerajaan
Bima. Sebagian lainnya dimakamkan di Dara. Sebelah utara museum adalah rumah
dinas walikota Bima yang juga berdekatan dengan yayasan keluarga kesultanan.
![]() |
potret Sultan Salahudin dan istri |
Konsep tata ruang museum ini
melambangkan perpaduan istana sebagai unsur pemerintahan, masjid sebagai unsur
keagamaan, dan lapangan atau alun-alun yang mewakili rakyat. Walaupun saat ini,
pusat pemerintahan kota Bima berada di wilayah Raba.
Dahulu,
sebelum digunakan sebagai museum, bangunan ini merupakan tempat tinggal keluarga
kerajaan. Kemudian sempat beralih fungsi menjadi asrama, kantor pemerintahan,
dan sekarang menjadi museum.
Arsitektur Museum
![]() |
prasasti penyerahan kesultanan |
Museum
Asi Mbojo dibangun pada tahun 1927-1930 dengan memadukan gaya rumah adat Bima,
Belanda, dan sedikit Ambon. Perpaduan tersebut mengusung tema Kerajaan Bima,
pendudukan Belanda di masa pembangunan istana Mbojo, dan sentuhan Ambon dari
arsitekturnya, Rehatta, yang berasal dari Ambon.
Asi
Mbojo terdiri atas dua lantai. Lantai pertama, kala itu digunakan oleh raja
untuk menerima tamu kenegaraan. Menurut Safrudin, petugas di museum, Asi Mbojo
merupakan istana kesultanan yang tidak memiliki singgasana. Sehari-hari, Sultan Salahudin yang
tinggal di sana dalam berkegiatan selalu duduk di atas lantai atau lesehan
dalam bahasa Jawa. Saat ini, ruangan-ruangan di lantai satu difungsikan untuk
ruang pamer yang menyimpan benda-benda pusaka Kesultanan Bima.
Di
lantai dua Asi Mbojo, terdiri atas enam ruangan untuk tidur anggota keluarga
kesultanan dan ruang kerja sultan. Ada
satu ruangan yang diistimewakan, yang dulu pernah digunakan oleh Bung Karno
ketika berkunjung ke Bima pada tahun 1949. Kala itu. Sultan Salahudin
menyerahkan kedaulatan Kesultanan Bima kepada NKRI dan bersedia untuk bergabung
dengan NKRI. Pernyataan penyerahan kedaulatan ini juga dapat pengunjung temukan
di sebuah prasasti yang ada di halaman muka Asi Mbojo.
Akulturasi Budaya
Kesultanan
Bima sendiri memiliki kedekatan hubungan dengan Kerajaan Gowa Tallo di
Sulawesi. Kedekatan hubungan ini diperoleh melalui hubungan perkawinan. Melihat
silsilahnya, dimulai dari Sultan Abdul Kahir atau Sultan Bima I yang menikah
dengan adik ipar Sultan Alaudin dari Kerajaan Gowa. Menyusul beberapa sultan
lainnya dalam Kesultanan Bima yang juga memperistri putri-putri Kerajaan Gowa. Tercatat
ada 8 sultan di Bima yang menikahi puteri-puteri Makassar.
Kedekatan budaya tersebut mempengaruhi produk budaya di Bima, salah satu yang terlihat adalah pakaian tradisional. Pakaian tradisional khas Bima untuk putri mirip dengan baju bodo Sulawesi. Bedanya, ukuran baju di Bima lebih pendek dibanding baju bodo sehingga disebut baju poro atau baju pendek dalam bahasa Bima.
![]() |
pakaian adat Bima |
Komentar
Posting Komentar