Uma Lengge: Menjaga Ketahanan Pangan Masyarakat Bima


Menuju Situs Uma Lengge di Desa Maria
Tanggal 27 Juli lalu, menjelang shalat Ashar, saya bersama teman-teman dari RS PKU Muhammadiyah Bima menuju Desa Maria Kecamatan Wawo. Titik keberangkatan kami adalah Jalan Gajah Mada, di pusat kota Bima. Dengan mengendarai mobil, kami berangkat ke arah timur.

Perjalanan menuju Kecamatan Wawo melewati beberapa jalan yang cukup menanjak dan berkelok. Perlu kehati-hatian ketika berkendara di jalanan Bima. Meskipun jalanan sepi, tidak menutup kemungkinan kita akan berpapasan dengan kendaraan lain dari arah berlawanan yang ugal-ugalan dan tidak mematuhi marka jalan.
Gerbang Situs Uma Lengge
Setelah 45 menit, sampailah kami di Desa Maria, Kecamatan Wawo. Tidak ada papan penunjuk yang mengarahkan ke situs budaya ini. Pengunjung harus jeli melihat sebuah spanduk kecil yang terpasang di pinggir jalan menuju Desa Maria.

Situs Uma Lengge berada di antara permukiman warga. Karena berada di wilayah perbukitan, udara segar menyapa kami walaupun cuaca di Bima sedang panas-panasnya. Di sana kami disambut oleh Bang Adi, warga setempat yang bertugas menjaga situs. Bagi wisatawan yang berkunjung, cukup mengisi buku tamu dan memberikan sumbangan sukarela untuk pemeliharaan situs.

Konstruksi Uma Lengge
Uma lengge merupakan lumbung  penyimpanan bahan pangan di Bima. Seperti leuit di suku Baduy atau sambik di Lombok. Di situs Uma Lengge Desa Maria, berdiri deretan uma lengge dan uma jompa. Jumlah total uma lengge dan uma jompa di situs ini sebanyak 109 bangunan.

Uma lengge berasal dari kata ‘uma’ dan ‘lengge’. Uma berarti rumah dan lengge berarti mengerucut, yang menandakan bentuk bagian atas dari rumah ini. Sedangkan uma jompa berbentuk bangunan rumah panggung dari kayu dengan fungsi yang sama dengan uma lengge. 
tangga menuju lantai dua
Uma lengge berbentuk seperti rumah panggung yang terdiri atas 3 lantai. Lantai pertama hanya berupa balai-balai terbuka yang di depannya terdapat sebuah tangga. Lantai pertama ini digunakan untuk menerima tamu dan kegiatan upacara adat. Beberapa digunakan oleh kaum perempuan untuk menenun. Di bawah lantai pertama ini terdapat sebuah kolong yang berfungsi sebagai tempat menyimpan ternak.

Di atasnya, ada lengge atau kerucut rumah yang membentuk huruf A. Bagian lantai 2 ini berukuran tinggi antara 5-7 meter yang ditopang dengan 4 tiang dari balok kayu. Kayu yang digunakan biasanya kayu jati.  Kemudian, pada bagian atap terbuat dari alang-alang, sekaligus mengelilingi dinding uma lengge dengan sebuah pintu sebagai pintu masuk atap uma. Lantai 2 inilah yang menjadi tempat menyimpan padi dan tanaman palawija lainnya.
tiang penopang
Tiang-tiang yang saling terkait menyokong bangunan atas uma lengge menyulitkan hewan-hewan seperti tikus untuk naik ke bagian atas karena terhalang oleh patok kayu.Pada tiang di bangunan uma lengge bertumpu pada fondasi berupa batu alam. Menurut Bang Adi, konstruksi bangunan ini sejak dahulu dan tahan terhadap gempa maupun tiupan angin. Antara satu tiang dengan tiang lainnya tidak dipaku. Untuk menguncinya menggunakan pasak yang terbuat dari kayu.

Bangunan Tahan Bencana
Masyarakat Desa Maria kerap lalai mematikan api saat memasak dengan bahan bakar kayu dan ranting sehingga sering terjadi kebakaran. Mayoritas rumah warga berupa rumah panggung dan berbahan dasar kayu dan jarak antara rumah warga berdekatan menyebabkan api cepat menjalar. Oleh karena itu, pasca kebakaran, uma lengge dibangun agak jauh dari permukiman dan ditempatkan di atas bukit. Tujuannya, apabila terjadi kebakaran di permukiman warga, bekal pangan mereka masih tetap ada.
deretan uma lengge
Pembangunan uma lengge sebagai strategi pengamanan logistik bukanlah tanpa alasan, mengingat secara geografis areal sawah atau ladang di wilayah Desa Maria bertadah hujan dan bisa ditanami tiga hingga empat bulan dalam setahun. Uma Lengge adalah bentuk kearifan lokal warga dalam menyiasati ketersediaan pangan pada musim kemarau. 

uma jompa

Akan tetapi, tidak semua kepala keluarga memiliki uma lengge. Sebagian orang yang tidak memiliki uma lengge beranggapan bahwa mereka bisa setiap hari membeli beras di pasar terdekat. Menurut Kamarunnisa, staf di Museum Samparaja Bima, kepemilikan uma lengge juga menyangkut strata sosial di masyarakat. Bagi masyarakat kelas bawah, satu uma lengge bisa menyimpan bahan pangan bagi beberapa kepala keluarga.

Memuliakan Padi
Masyarakat agraris menjadikan padi sebagai buah keberkahan dalam kehidupan mereka sehingga perlu diadakan upacara adat untuk menghormati buah keberkahan tersebut. Setelah panen raya, padi dan berbagai hasil palawija lainnya dinaikkan ke dalam uma lengge melalui upacara ampafare.
persediaan bahan pangan
Secara teknis, upacara ampafare diawali dengan prosesi doa yang dilakukan oleh para pemuka agama dan adat. Mereka bersyukur kepada Sang Khalik atas hasil panen padi yang diharapkan cukup sebagai bekal hidup hingga masa tanam tahun berikutnya. Kemudian, hasil panenan tersebut dimasukkan ke Uma Lengge dengan cara dilempar dari bawah dan masuk melalui jendela rumah penyimpanan itu.
peraturan
Bentuk lain dari memuliakan padi, masyarakat melarang perempuan haid naik ke uma lengge. Seperti mitos pada masyarakat tradisional di Indonesia, perempuan haid dianggap kotor, sedangkan padi itu suci dan bersih.


Filosofi Masyarakat Bima

Ada aturan masyarakat untuk mengambil bahan pangan di uma lengge. Tiap kepala keluarga hanya diperbolehkan mengambil bahan pangan yang cukup untuk dikonsumsi selama seminggu sebanyak 25 kilogram.
alat penumbuk padi
Peraturan ini sekaligus ajakan untuk hidup hemat sesuai dengan salah satu filosofi hidup di Bima, yaitu Ngaha Aina Ngoho. Filosofi ini jika diartikan kata per kata adalah ‘ngaha’ berarti makan dan ‘aina’ berarti jangan, dan ‘ngoho’ berarti habiskan. Atau arti filosofisnya, makanlah secukupnya, jangan dihabiskan dalam satu waktu saja.

Filosofi ini bermakna agar kita selalu hidup secukupnya, sesuai dengan kebutuhan dan tidak berlebih-lebihan. Menurut saya, filosofi ini tepat jika dilekatkan dengan filosofi uma lengge. Melalui uma lengge, masyarakat belajar untuk hidup sederhana dengan memanfaatkan bahan pangan yang tersedia. 



Referensi:

Michael Hitchchock, Inter-Ethnic Relation and Tourism in Bima, Sumbawa
Wawancara dengan Bang Adi, penjaga situs Uma Lengge, 21 Juli 2017
Wawancara dengan Kamarunnisa, staf Museum Samparaja, 21 Juli 2017






























Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Soto Terenak di Sekitar Kampus UGM versi Aulia

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy

Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)