Karapan Sape

Bangkalan nan gersang. Seperti di belahan bumi lain di Indonesia yang juga tengah memasuki musim kemarau. Minggu lalu, 17 September 2017, jam 9 pagi layaknya jam 11 siang. Mungkin karena kami berada di timur. Matahari lebih cepat meninggi.

Pekan lalu, saya dan ketiga teman jalan-jalan ke Surabaya. Mumpung disini, kami sempatkan melewati Jembatan Suramadu dan keliling Bangkalan. Perjalanan kami hanya sepersekian kilometer dari luas Pulau Madura. Ya setidaknya kami pernah menjejakkan kaki ke pulau ini. Meskipun hanya mampir makan bebek sinjay yang tersohor.

Tak ada tujuan, berbekal tanya ke Mbah Google, kami menuju Bukit Jaddih. Bukit yang tak lain adalah bekas galian batu kapur. Debu putih dimana-mana. Sampai sana, malas kami turun. Sayang sekali si Taruna ini kotor karena debu putih dari bukit kapur. "Masa' kita menikmati wisata kerusakan alam?" sindir Irul.

Tumben sekali dia bijak, batin saya. Pergilah kami dari sana setelah 'menyumbang' sepuluh ribu rupiah. Tanda masuk untuk satu mobil.

Berjalan keluar dari Bukit Jaddih menuju Suramadu, kami melihat sebuah lapangan ramai. Ada banyak sapi. "Sepertinya karapan sapi, San," saya berkata pada Iksan yang kebagian jatah menyetir.


"Ayo lihat, Mbak. Mumpung disini."

Tanpa babibu, kami menepi. Lupa kalau di luar sedang panas-panasnya.

Ada dua pasang sapi yang kami lihat tengah didandani oleh si empunya. Lima menit kami menunggu, sepasang sapi beserta seorang joki bertubuh mungil melesat ke dalam lapangan.

Saya mendekati seorang bapak yang sedari tadi selalu memberikan aba-aba menggunakan sepotong bambu dan sebuah plastik. Pak Hasan namanya. Dari cerita beliau, karapan sapi ini bertujuan untuk menyeleksi sapi-sapi yang akan dilombakan di tingkat karesidenan.

Sapi yang berhasil mencapai garis finish  sepanjang 120 meter selama 17 detik akan mendapatkan nomor untuk maju ke tingkat selanjutnya, yaitu kabupaten. Kemudian tingkatan tertinggi ke karesidenan di Pamekasan. Di tingkat karesidenan, sapi-sapi pemenang akan mendapatkan Piala Presiden dan hadiah uang 500 juta rupiah. Jumlah yang tentu saja sangat menggiurkan.

Lalu, bagaimana sapi-sapi tersebut bisa memenangkan lomba?

"Sapi-sapi ini sapi pilihan dari Madura. Pemiliknya melatih sapi ini tiap 2 hari sekali." Terang Pak Hasan.

Selain pelatihan, sapi ini juga mendapatkan perawatan khusus. Tiap seminggu sekali dipijat dan setiap hari dimandikan.

Di sela pertandingan ini, saya melihat sebuah mobil bak terbuka yang mengangkut empat ekor sapi. Sapi tersebut terlihat lesu. Seperti sapi-sapi biasa yang saya lihat di Jawa.

"Makanannya gimana, Pak? Kok sepertinya beda dengan sapi di mobil bak tersebut?" Tunjuk saya ke arah sapi disana.

"Untuk makannya, selain rumput, sapi ini juga mendapat asupan protein dari telur sebanyak 5000 butir per minggu. Selain itu juga diberikan madu," kata Pak Hasan.

Pantas saja kalau sapi-sapi ini terlihat kuat dan gagah. Saya teringat jenis sapi brahma dan limosin yang juga besar seperti ini.

Karapan sapi bukan hanya sekadar perayaan pasca masa panen raya atau sekadar menunggu jeda pada musim tanam selanjutnya. Karapan sapi juga penanda status sosial di kalangan masyarakat. Semakin sering sapi memenangkan pertandingan, semakin tersohor si empunya di kalangan masyarakat. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Soto Terenak di Sekitar Kampus UGM versi Aulia

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy

Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)