Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)
Adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Papua. Setelah
perjalanan panjang dari Bima menuju Sorong, transit Tangerang selama 8 jam.
Batik Air yang saya tumpangi mendarat di Bandara Domine Eduard Osok (DEO). Sebelumnya,
saya sudah janjian dengan Pak Eko Tavip dan Pak Anang Triyoso dari Pimpinan
Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Sorong untuk audiensi menjelang kegiatan
MDMC di Sorong dalam Bulan PRB 2017.
Pesawat mendarat tepat waktu, pukul 08.00 WIT. Dari atas pesawat
saya sudah merasakan terik matahari pagi. Ini di Indonesia bagian timur,
Mbak. Batin saya. Mengingat seminggu sebelumnya saya berada di Bima yang
masuk waktu Indonesia bagian tengah dan sempat berada di Tangerang sebelum
beranjak ke Sorong.
Sebuah pesan singkat masuk ke handphone saya, dari Pak Lestari,
staf kampus STKIP Muhammadiyah Sorong yang menjemput saya dan akan mengantar
saya selama berkegiatan di Sorong.
Dari nama dan fisiknya sudah bisa ditebak, Pak Lestari adalah
seorang keturunan Jawa. Usianya 33 tahun saat ini. Ia mendaku sebagai orang
Perancis. Singkatan dari ‘peranakan Ciamis’. Kedua orang tuanya ikut program
transmigrasi pada era pemerintahan Soeharto tahun 1979. Pak Lestari adalah anak
kelima dari 5 bersaudara yang lahir dan besar di Sorong.
Program transmigrasi merupakan program dari Bappenas, Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, dan
Kementerian Transmigrasi (semua kementerian kala itu disebut departemen). Para
transmigran diambil dari wilayah Jawa, Madura, Bali, dan Lombok, empat pulau
yang termasuk padat penduduk.
Pada masa Orde Baru, untuk menjadi transmigran (sebutan bagi orang
yang melakukan transmigrasi) dibutuhkan beberapa syarat, yaitu warga Indonesia yang
sehat dan sudah menikah; berusia muda dan tidak lebih dari 60 tahun; jumlah
anggota keluarga tidak lebih dari 5 orang; tidak memiliki catatan kriminal; dan
yang terpenting memiliki pengalaman bertani dann keterampilan lainnya yang dapat
digunakan di tanah transmigrasi.
Ketika transmigrasi di akhir tahun 70-an, orang tua Pak Lestari
membawa 3 orang anak. 2 anak terakhirnya, salahsatunya adalah Pak Lestari lahir
di Sorong pada tahun 1984. Keluarga transmigran yang baru tiba mendapatkan
sebuah rumah dan tanah seluas 2 hingga 5 hektar di Kecamatan Aimas yang kini
sudah dimekarkan menjadi Kecamatan Mariat Pantai. Rumah dan tanah tersebut
hingga kini masih ada dan menjadi hak waris Pak Lestari dan keluarganya.
Pak Lestari saat ini sudah berkeluarga dan memiliki dua orang
anak. Istri Pak Lestari seorang asli Banjar Pataruman, yang dikenalnya dari
seorang saudara di Ciamis. “Saya pernah ke Jawa, Mbak. Untuk bekerja di Jakarta selama
setahun. Kemudian balik lagi ke Papua. Gak lama ke Jawa lagi untuk melamar
istri saya. Setelah menikah, saya bawa ke Sorong untuk berkehidupan di sini,”
kata Pak Lestari yang sehari-hari mendapat amanah di bidang sarana prasarana di
STKIP Muhammadiyah Sorong.
Indonesia terdiri atas 5 pulau dan yang padat hanya Jawa dan Bali.
Untuk pemerataan, pada era Soeharto ke pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan
Papua. Di Sorong, mereka ikut program pada Repelita III tahun 1979-1984 yang memindahkan
535.000 keluarga.
Istilah "transmigrasi" mencakup pada tiga kelompok yang
berbeda. Kelompok yang dominan terdiri dari para transmigran yang disponsori;
mereka mendapat dukungan luas dari pemerintah selama lima tahun permukiman awal
dalam bentuk transportasi, tanah, perumahan, dan layanan sosial.
Selain
itu ada kelompok transmigran lokal. Anggota kelompok ini berasal dari atau di
dekat daerah pemukiman untuk dikembangkan dan mendapat manfaat yang sama dengan
transmigran yang disponsori. Kelompok ketiga terdiri dari transmigran spontan.
Mereka bergerak dengan biaya sendiri dan tinggal di lokasi pilihan mereka.
Dukungan pemerintah langsung untuk kelompok
ini tersedia, namun kurang dari yang diberikan kepada kelompok sponsor dan
lokal. Dukungan semacam itu diberikan dalam bentuk kredit dan bukan subsidi,
walaupun migran spontan terdaftar menerima jumlah lahan yang sama (2 sampai 5
hektar di antaranya biasanya hanya 1,25 hektar yang benar-benar dibersihkan)
dan mendapatkan keuntungan dari layanan sosioekonomi yang sama seperti
transmigran yang disponsori (Leinbach,: 24)
Transmigrasi di Papua lebih banyak berpusat di lokasi ladang minyak utama
di Sorong dan Manokwari, Papua Barat, yang aman dan stabil. Sorong menjadi kota
strategis sebagai daerah tujuan transmigrasi selain sebagai kota pelabuhan dan
menjadi gerbang pulau Papua, kota ini juga merupakan arus perdagangan. Potensi
kelautan dan berbagai aktivitas jasa. Sebagai pintu gerbang masuknya berbagai aktivitas perdagangan dan
pertukaran jasa, kota ini bergerak dinamis.
Di awal kehidupan mereka di lokasi transmigrasi, tiap rumah tangga
mendapat perlengkapan kebutuhan rumah tangga yang dibeli dengan sistem kredit.
Kemudian, untuk mata pencaharian sebagai petani, pemerintah menyediakan
produk-produk pertanian, sepertu bibit, pestisida, pupuk, dan alat-alat
pertanian lainnya.
Transmigran di sana menjadi fasilitator dan penggerak dalam
berbagai sektor kehidupan. Para transmigran ini membangun infrastruktur jalan,
mengolah lahan pertanian, perladangan, dan membangun fasilitas pelayanan
kesehatan dan pendidikan.
Daerah asal transmigran pertama adalah dari Ciamis yang menempati
wilayah Malawele di Aimas. Mereka tinggal di wilayah yang juga lebih dikenal
sebagai Satuan Permukiman 1 atau SP-1. Istilah yang disematkan untuk kampung
transmigran pertama di Sorong. Di SP-1 ini terdapat juga Kampung Jogja dan
Kampung Kebumen.
Di Kampung Jogja, masyarakat transmigran membangun sekolah dari
tingkat TK-SMA di bawah naungan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Sorong.
Ketika berkunjung kesini, saya merasakan seperti bukan di Papua karena masih
ada beberapa penduduk yang fasih berbahasa Jawa.
Akan tetapi, untuk generasi ketiga, kebanyakan hanya paham bahasa
Jawa pasif. “Kalau Mbak Aulia bicara bahasa Jawa, saya paham, Mbak, maksudnya.
Tapi saya kebingungan menjawabnya.” kata Pak Sobirin, keturunan Ponorogo yang
lahir dan besar di Sorong.
Terbukanya pintu masuk di Sorong yang memungkinkan banyaknya
pendatang di sana, terlihat jelas komposisi penduduk di Kota dan Kabupaten
Sorong. Masyarakat di kota Sorong didominasi oleh pendatang dari suku Bugis dan
Buton. Mereka tinggal di pinggiran pantai dan di beberapa titik di pusat kota.
Aktivitas utama selain sebagai nelayan adalah berdagang. Sedangkan di kabupaten
Sorong, didominasi oleh warga transmigran dari Jawa, Sunda, Madura.
Mayoritas kesukuan tersebut terrepresentasikan dalam struktur
politik di Sorong. Walikota Sorong berasal dari suku Moi dan Wakil Walikota
dari suku Bugis. Di kabupaten, Bupati berasal dari suku Moi dan Wakil Bupati
dari suku Jawa, seorang keturunan Pacitan. Hal ini bukan tanpa sebab, mengikuti
mayoritas massa di sana.
Ketika saya berkesempatan berbelanja di Pasar Malawele, Kabupaten
Sorong, saya disambut oleh lagu dangdut koplo berbahasa Jawa. Papua rasa
Jawa, batin saya. Perputaran ekonomi di pasar ini didominasi oleh orang
Jawa. Mereka menjual sembako dan berbagai makanan dan produk olahan, sedangkan
masyarakat asli Papua yang menjual hasil bumi dan perkebunan. Saya mengamati
mereka menjual umbi-umbian, sayur mayur, dan pinang.
Saya sempat menanyakan, apa ada keinginan untuk kembali ke Jawa, beberapa dari warga di sana menyatakan belum ada niatan ke sana. “Kami sudah kerasan di sini, lagi pula orang tua dan keluarga besar kebanyakan memang sudah menetap di Sorong,” tambah pria yang sehari-hari menjadi guru di SMK Muhammadiyah Aimas.
“Ada juga beberapa orang yang tidak betah berada di sini. Mereka kemudian menjual rumah dan tanahnya untuk kembali ke daerah asal.” terang Pak Lestari.
(....bersambung...)
(....bersambung...)
Sepertinya tulisan belum selesai.....?
BalasHapusIni alamatnya dimana ya? Ditunggu kunjungan baliknya Backdrop Jogja
BalasHapus