Menyusuri Si Hitam di Kota Cantik Palangka Raya
Air sungai
berwarna hitam di bawah perahu kami. Perjalanan berkelok-kelok melewati
kerumunan pohon-pohon rasau. Seperti labirin, kami terus mencari jalan menuju
Taman Nasional Sebangau.
Di
Kalimantan, sungai dan aktivitas di atasnya menjadi denyut kehidupan. Warga
kota memanfaatkan sungai tidak hanya sebagai sarana transportasi. Masyarakat
yang hidup di pinggir sungai memelihara ikan sungai menggunakan
keramba-keramba. Banyak perahu tertambat di belakang rumah panggung, rumah khas
bagi warga yang tinggal di bantaran sungai.
Selain
itu, masyarakat juga masih memanfaatkan sungai dan perahu untuk transportasi.
Alih-alih menggunakan jalan darat, beberapa warga memilih naik ojek klotok yang
banyak melewati rumah mereka. “Akan memutar jalan terlalu jauh kalau kami
memutar,” aku seorang ibu yang akan menuju pasar di dekat sungai Kahayan.
Begitupun di Kota Palangka Raya,
Kalimantan Tengah, kota yang tengah digadang-gadang menjadi ibukota negara ini
menjadikan sungai sebagai sumber ekonomi. Belakangan, sungai menjadi komoditas
pariwisata kota. Setelah sukses dengan wisata susur sungai Kahayan yang
membelah kota Palangka Raya, pemerintah kota mengenalkan wisata susur sungai
menuju Taman Nasional Sebangau.
Taman Nasional Sebangau merupakan
salah satu taman nasional yang berada di Kalimantan Tengah. Secara administratif,
taman ini berada di Kota Palangka Raya, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kabupaten
Katingan. Taman nasional ini terbilang berusia muda karena baru diresmikan pada
tahun 2004.
Untuk
menuju Taman Nasional Sebangau dapat ditempuh melalui kota Palangka Raya. Hari
itu, Kamis 8 Februari 2018, kami bergerak menuju Taman Nasional Sebangau dari
tengah kota Palangka Raya. Dengan mengendari kendaraan pribadi, waktu tempuh
yang kami lewati selama 20 menit. Kami mengawali perjalanan dari Dermaga Kereng
Bangkirai.
Bagi
wisatawan yang ingin menuju ke TN Sebangau, cukup mencari petugas yang berada
di dermaga tersebut karena selain menyewakan perahu menuju Sebangau, di dermaga
tersebut juga tersedia beragam perahu hias untuk berkeliling sungai dengan
durasi singkat dan tarif yang lebih murah.
Menyibak Misteri Si Hitam
Setelah menyewa sebuah perahu
dari Bang Rudi dengan tarif Rp 600.000, kami memulai perjalanan. Perahu klotok
yang kami sewa berukuran kecil, tanpa penutup kepala di atasnya. Perahu ini
cukup untuk dinaiki hingga enam orang termasuk pengemudinya. Tidak perlu
khawatir, pemilik perahu tetap memperhatikan aspek keselamatan dengan
memberikan pelampung bagi masing-masing
penumpang.
Tepat pukul 10.00 perahu bergerak
memasuki rimbunan pepohonan. Bagi wisatawan yang ingin menyusuri sungai ini,
waktu terbaik adalah pagi hari sebelum matahari beranjak naik karena matahari
di pulau ini bersinar terik sekali.
Memasuki sungai ini, kami
disambut oleh kerumunan pohon dengan batang berduri dan berdaun panjang warna
hijau. Sekilas nampak seperti pohon pandan berukuran raksasa. Pohon rasau
namanya. Pohon ini memiliki kandungan tannin yang cukup tinggi yang membuat air
sungai menjadi berwarna hitam. Di beberapa titik pohon rasau mulai berbuah.
Buahnya seperti buah nangka dalam ukuran kecil.
Sungai ini sangat tenang,
meskipun perahu kami berukuran kecil, tidak sedikitpun goyangan dari air yang
kami rasakan. Pun demikian ketika kami berpapasan dengan perahu lain dari arah
yang berseberangan, perahu tetap berada pada jalurnya.
Setelah 20 menit perjalanan dari
dermaga, sampailah kami di titik awal pemberhentian. Adalah sebuah jalan kecil
yang tengah dibangun sejauh 200 meter. Di sini kami menemukan beragam jenis
flora, salah satunya tumbuhan gambut yang akarnya membuat air di sekitarnya
berubah menjadi warna merah.
Harta Terpendam di Sungai Hitam
Dari
data yang saya dapatkan, Taman Nasional Sebangau menjadi habitat bagi 808 jenis
tumbuhan, 15 jenis mamalia, 182 jenis burung, dan 54 spesies ular. Taman ini
menjadi arena konservasi bagi satwa-satwa tersebut. Menurut pengemudi klotok
kami, apabila beruntung, kami bisa bertemu dengan orang utan atau owa-owa.
Taman
Nasional Sebangau juga merupakan ekosistem lahan gambut. Saat kebakaran hutan
dan lahan melanda Pulau Kalimantan beberapa waktu lalu, taman nasional ini juga
mengalami pembalakan liar. Pembalakan tersebut berdampak pada kebakaran gambut
di hutan Palangka Raya. Taman Nasional ini kemudian beralih fungsi dari hutan
produksi menjadi hutan konservasi yang pengawasannya berada di bawah pemerintah
provinsi Kalimantan Tengah.
“Kalau
datang ke sungai ini, ketika musim hujan seperti ini, airnya banyak. Kalau
tidak hujan, sungai ini kering, kami bisa jalan-jalan di atasnya,” tutup
pemandu kami. (*)
Komentar
Posting Komentar