Belanjalah di Warung Kelontong Dekat Rumah


Setiap kali barang kebutuhan sehari-hari di rumah stoknya habis dan tiba waktunya kami berbelanja, bapak selalu berpesan pada mama dan kami semua anak-anaknya agar selalu berbelanja di warung kelontong milik tetangga yang ada di kanan kiri rumah kami. Di lingkungan rumah kami yang berlokasi di komplek perumahan sederhana di Kota Tangerang, seingat saya di gang rumah ada empat warung kelontong kecil. Selain ke pasar, tiap kali gula, minyak sayur, garam, sabun, ataupun sampo habis, kami selalu membeli bergantian ke empat warung tersebut.

Waktu bapak menasihati kami, Indomaret dan Alfamart memang belum seramai sekarang ini sehingga mau tidak mau, kami pasti berbelanja di warung tersebut. Mulai tahun 2002-2003, satu per satu toko waralaba tersebut hadir di komplek rumah kami. Awalnya Indomaret yang ada di seberang komplek. Dulu, tiap pulang sekolah, saya beberapa kali mampir ke Indomaret dengan alasan ngadem karena AC nya cukup menyejukkan setelah hampir 40 menit berada di angkot dari sekolah menuju ke rumah. 

Selang sekitar 3 tahun kemudian, di sebelah Indomaret hadirlah Alfamart. Makin ramailah komplek rumah saya. Apalagi di akhir bulan menjelang awal bulan, saat masyarakat Kota Tangerang yang didominasi karyawan pabrik mulai menerima gaji bulan. Hadirnya dua toko waralaba tersebut membuat pesan bapak semakin kencang dan keras rasanya di rumah. "Kalau belanja sembako dan kebutuhan lain, belanjalah di warung Mama Ridho atau warung Mama Upik!" kata bapak menyebut dua nama pemilik warung di RT kami. 

"Kan barang yang aku beli gak ada, Pak, di warung itu." sanggah saya waktu itu. Seingat saya, saya pengen beli es krim Conello coklat stroberi favorit saya.

"Kecuali kalau barang yang kamu cari emang mentok gak ada di warung mereka." jawab bapak. 

Waktu itu, memang belanja di dua toko waralaba itu juga mengandung gengsi. Saya bisa dengan bangga bercerita ke teman-teman kalau saya habis belanja wafer tango atau es krim atau peralatan tulis bertema Miki Mos di Indomaret.

Suatu hari, seperti biasa, sambil nyetir mobil di perjalanan kami menuju rumah makan langganan, bapak bilang, "Masyarakat kita itu aneh, kalo awal bulan, rame-rame belanja ke Indomaret atau supermarket macam Hypermart, Hero, atau Indogrosir. Nanti, kalo duit bulanan udah habis, mereka datang ke warung kelontong dekat rumah untuk ngutang sembako. Masyarakat macam apa itu? Gaya hidup doang yang dipikirin."

Oke, setelah bapak ngomong begitu, saya jadi tau kenapa alasan bapak nyuruh saya belanja di warung dekat rumah. 

Ketika Jokowi jadi walikota Solo, almarhum Paklek saya yang tinggal di Solo selalu bercerita kalo Jokowi melarang toko waralaba untuk membuka tokonya di Kota Surakarta. Dan seingat saya, saya hanya menemukan satu Inddomaret di gerbang dekat Pasar Kleco, sebelum masuk jalan Slamet Riyadi saja. Kalau sekarang, sepertinya kebijakan itu sudah gak ada lagi.. 

Beda dengan di Solo, di wilayah Kota Jogja dan Sleman, saya dengan mudahnya mendapati Indomaret dan Alfamart. Bahkan Indomaret dengan santainya punya tempat yang besar, khusus untuk mahasiswa nongkrong-nongkrong sampai pagi dengan fasilitas wifi dan tempat duduk asik difasilitasi makanan yang bisa tinggall comot aja. Kadang saya miris, mahasiswa sekarang apa gak mikirin ya kalo Indomaret dan Alfamart itu jahat. Jahat karena berdasarkan survei (saya lupa survei dari mana), dengan hadirnya satu Indomaret bisa menutup 10 warung kelontong lain yang ada di sisi kanan dan kiri Indomaret. 

Saya pribadi, belanja ke toko waralaba itu kalo kepepet banget dikarenakan emang harga jual Indomaret Alfamart bisa lebih mahal sampai tiga ribu perak untuk produk yang pernah saya beli di warung kelontong belakang kos. Ya, walaupun, sejujurnya, untuk belanja bulanan, saya masih suka belanja di Mirota Kampus (maafkan saya ya). 

Dua tahun lalu, waktu saya pulang ke Tangerang, warung kelontong Mama Ridho tutup. Saya lalu bertanya ke Mama, kenapa warungnya tutup. Kata Mama, warungnya kekurangan modal, banyak orang yang berhutang lalu gak dibayar sehingga perputaran uang di sana macet. Sungguh, saya sedih. 


Setelah nulis ini, saya kembali berefleksi, yuk dimulai lagi belanja kebutuhan pokok di warung dekat rumah atau dekat kos. Untuk pemilik warung, mari coba berinovasi dan berkreasi, seandainya warung kelontong bapak ibu ditata dengan rak-rak cantik mirip di toko waralaba yang tren itu, tentu banyak pembeli yang tertarik. Semoga!


Foto diambil dari sini

Komentar

  1. Kalo aku buka warung kelontong, kamu mau belanja di tempatku gak Ul?

    BalasHapus
    Balasan
    1. asal pas aku beli dan kamu yang ngelayanin, aku mau kok, Ir ;)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Soto Terenak di Sekitar Kampus UGM versi Aulia

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy

Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)