Ruang Privasi

Enam bulan sudah saya beraktivitas di Gedung Muhammadijah jang dibangoen dengan dana himpunan dari oemat. Gedung ini berusia tua, dari sebuah plakat kecil yang ditempel di sisi kanan gerbang gedung, kita bisa melihat catatan waktu gedung ini mulai beroperasi. Gedung ini tidak nampak seperti kantor administratif dengan banyak urusan dan kegiatan di dalamnya. Dari luar, malah seperti tempat pengajian buat bapak-ibu usia paruh baya. Hehe, ampun, Bos. 

Tiap Senin sampai Sabtu dengan jam kerja dari jam 8.00-16.00 sore, saya berkegiatan di lantai dua, menempati sebuah ruangan yang merupakan dua ruang besar yang disatukan. Kantor saya, Lembaga Penanggulangan Bencana, kadangkala sesuai dengan nomenclatur namanya mirip seperti sebuah ruangan yang terdampak bencana. Kardus berisi logistik di mana-mana, kertas dan buku yang awalnya tertata rapi lalu datang relawan dari berbagai daerah kemudian jadi berantakan, dengan banyak toples berisi cemilann ber-MSG tersaji di meja tamu dan meja para staf. Sungguh kurang sedap dipandang mata. 

Di ruangan kami, tidak ada sekat antara staf yang satu dengan staf yang lain. Kepala kantor sengaja mendesain ruangan ini sedemikian rupa supaya kami tidak saling membatasi diri dan menjadi akrab satu sama lain. Memang, enam bulan di sini, saya makin paham dengan kelakuan baik dan buruk teman-teman saya yang semuanya berusia sebaya. 

Suatu waktu, di kala deadline pekerjaan mengejar, ditambah suasana hati sedang buruk, dan ide untuk menulis apapun gak muncull, saya seringkali kelimpungan. Keluar dari ruangan dan berjalan-jalan mengelilingi gedung pernah berhasil jadi solusinya. 

Namun, suatu waktu juga saya pernah patah hati di hari Minggu dan masih kebawa sampai mood saya rusak di hari Senin. Saya rasanya pengen nangis aja sepanjang hari. Tapi, mana bisa saya nangis di kantor yang bahkan duduk saya pun berhadap-hadapan dengan rekan lainnya. 

Pada fase itu, saya lalu berpikir ternyata kantor ini gak punya ruang privasi untuk staf nya. Ruang privasi yang paling sederhana yang bisa saya buat adalah ketika saya mengenakan headphone sambil mengerajakan tugas kantor. Ruang lainnya? Kamar mandi juga jadi salah satu solusi, tempat yang cukup aman untuk menumpahkan tangis. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Soto Terenak di Sekitar Kampus UGM versi Aulia

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy

Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)