Begitu Mudahnya Jualan Agama

Dari berbagai tempat penunjang gaya hidup kekinian, saya menemukan salon kecantikan sebagai sebuah bisnis yang langgeng. Media masa kini begitu menpropaganda orang-orang, baik laki-laki ataupun perempuan untuk memerhatikan penampilan. Senada dengan itu, Goffman dalam the Presentation of Self in Everyday Life mengatakan bahwa saat ini adalah era dimana penampilan berkuasa. Terutama setelah hilangnya bias gender salam soal fashion dan penampilan.

Laki-laki tidak malu lagi menggunakan pelembab wajah atau sabun pencuci muka. Bahkan dalam satu iklan Nivea Facial Wash, Mas Marcell Chandrawinata selaku model menarasikan bahwa saat ini dia gak perlu pinjem sabun muka pacarnya buat cuci wajah. Hem..

Salon kecantikan yang dahulu menjadi ritus gaya hidup perempuan kini perlahan menyapa kaum Adam. Ditambah citra sebagai laki-laki metroseksual semakin mempertegas masalah ini.

Selain sudah tidak bias gender, strategi pemasaran salon kecantikan kini bernegosiasi dengan peraturan agama, khususnya agama Islam. Dalam sebuah hadits, disebutkan bahwa terlarang bagi perempuan untuk keluar rumah dengan bersolek. Di beberapa hadits juga disebutkan bahwa kecantikan seorang perempuan hanya diperuntukkan kepada suaminya. Nah lho..

Beruntungnya, kita hidup di negara yang arahnya belum jelas. Mau disebut negara Islami tapi masih ada berbagai agama lain yang non Islam. Mau disebut negara sekular yang memisahkan agama dengan negara juga masih malu-malu kucing.

Keberuntungan ini semakin menguat setelah post Orde Baru, dimana ada masa Post Islamisme ketika agama Islam banyak mendapat tempat. Komodifikasi dimana-mana. Termasuk hadirnya salon kecantikan khusus muslimah.

Apa yang membedakan? Selain yang boleh datang hanya perempuan, juga tata cara perawatannya. Saya pernah suatu kali facial di sana dan sebelum dimulai, sang terapis membaca doa kemuadian merapal kalimat tasbih, tahmid, dan takbir. Hemm.. begitu mudahnya menjual agama.

Komentar

  1. wanjir paragraf trakhir.......................
    speechless gue...........

    BalasHapus
  2. Salut banget sama Mbak Taarufi yang kritis merespon masifnya jualan konstruksi kecantikan dengan menyertakan agama sebagai labelnya! Yeaaaay! Suitsuittt...! Akan tetapi, saya bertanya-tanya dengan istilah menjual agama yang disebutkan. Bagi saya pribadi, praktik yang demikian tidak sampai dapat disebut menjual agama--sementara yang dimaksud sebagai agama itu apa saja dan bagaimana belumlah jelas di sini-- dan praktik semacam itu lebih berdasar pada praktik kapitalisme beserta logikanya. Tapi jika yang dimaksud adalah memanfaatkan tanda-tanda keagamaan, maka saya sihh setujuh sajjahh :))

    BalasHapus
  3. Minta bacain doa enteng jodo sama Mbake.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Soto Terenak di Sekitar Kampus UGM versi Aulia

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy

Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)