Wanita: antara Peran di Ranah Privat dan Publik



1.       (Tulisan ini pernah saya muat di Catatan Facebook tahun 2013)



Sejak emansipasi wanita mulai digambar-gemborkan era Kartini, menjadi perempuan yang terdidik dan menempati posisi atas di ranah publik tidak lagi menjadi hal aneh bagi wanita saat ini. Beberapa posisi tinggi di negara kita berhasil menempatkan perempuan menjadi pemimpinnya. Sebut saja, Megawati yang berhasil menjadi Presiden RI, Sri Mulyani Indrawati yang dulunya dikenal sebagai Menteri Keuangan, berhasil menjadi direktur pelaksana Bank Dunia, dan menjadi wanita pertama di Indonesia yang menduduki jabatan penting tersebut, dan masih banyak nama-nama tokoh wanita yang berhasil menduduki posisi yang rasanya “gak mungkin” untuk dicapai.Saat ini, gak ada kata gak mungkin untuk seorang perempuan menempati posisi-posisi strategis di ranah publik. Oke, hal di atas mungkin sudah banyak yang menulis dan mengkritisi.
Di Indonesia, kebanyakan wanita berpendidikan memilih untuk bekerja di kantor. Jam kerja kantor rata-rata sebanyak 7-8 jam per hari selama lima hari kerja. Pekerja wanita, sama dengan pekerja lelaki, memperoleh izin cuti sesuai dengan peraturan kantor. Namun, sesuai dengan kodrat perempuan, diberikan pula cuti melahirkan selama 2 bulan. Setelah bulan ketiga, diharapkan pekerja wanita kembali berkarya di kantor.
Ini yang menjadi persoalan. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan pekerja wanita tersebut yang harus meninggalkan bayinya yang masih merah untuk kembali bekerja? Alternatif pun dicari untuk mencari solusi pengasuhan sang anak. Beberapa rumah tangga tradisional, mempercayakan pengasuhan anak kepada keluarga, entah nenek dari bayi atau keluarga lain yang berkenan dititipi anak. Sedangkanmereka yang berpenghasilan lebih, biasanya mempercvayakan pengasuhan anak kepada baby sitter dengan kualifikasi pendidikan yang memadai dengan keterampilan mengasuh bayi.
Bisa dipastikan, bayi yang seharusnya mendapat kehangatan dan perhatian dari ibu, terutama yang masih minum ASI harus terputus hubungan emosionalnya dan digantikan dengan ‘ibu-ibu palsu’. Memang, zaman canggih ini memudahkan wanita yang masih menyususi untuk menyimpan ASI dalam wadah-wadah yang sewaktu-waktu bisa diberikan kepada anak. Akan tetapi, tetap saja tidak terjadi kontak emosional antara anak dengan ibu. Padahal, dari literatur yang pernah saya baca, inisiasi menyusui dini yang diberikan kepada anak akan menjadi tali pengikat hubungan emosional antara anak dan berpengaruh besar pada psikologis anak ke depannya.
Selanjutnya, karena ibu yang masih harus bekerja di kantor, pengasuhan seterusnya yang diberikan kepada pengasuh terus dilanjutkan hingga anak-anak dewasa. Sang ibu pulang kantor pada sore hari sehingga hanya punya sedikit waktu untuk menemani belajar hingga tidur kembali. Bagi mereka yang bekerja lima hari dalam seminggu, masih memiliki dua hari penuh untuk menggantikan hari-hari yang hilang.
Saya lantas banyak berpikir tentang ini. Ketika saya berpendidikan tinggi, orang kemudian akan menaruh harapan besar pada saya untuk dapat berkarya di kantor-kantor dengan penghasilan yang nantinya dapat membantu perekonomian keluarga. Tetapi, lantas kembali merenung. Kalau saya ‘menghabiskan’ 8 jam yang saya miliki, bagaimana tumbuh kembang anak saya kelak? Secara materi, mungkin mereka akan terpenuhi. Terbukti, semasa sekolah, teman-teman sebaya yang orang tuanya bekerja selalu tampil lebih keren dengan barang-barang mahal dan sepertinya segala keinginan mereka terpenuhi. Namun, setelah saya telisik, ternyata jiwa mereka kering. Kebanyakan dari mereka yang ditinggal orang tuanya bekerja seharian penuh menjadi anak yang bandel dan dicap urakan oleh masyarakat. Bukan, bukan karena mereka bandel, hanya mereka butuh perhatian sehingga sering membuat onar untuk mendapat perhatian itu.
Yang perlu diangkat adalah apakah negara kita akan meniru beberapa negara maju yang memberikan cuti panjang kepada perempuan untuk melahirkan dan membesarkan anak kemudian dipersilakan kembali ke kantor dengan pekerjaan semula? Rasanya, sulit mewujudkan hal itu.
Masalah-masalah ini menjadi kompleks di bangsa kita. Perempuan kodratnya menjadi ibu, sekolah pertama untuk anak-anak, tetapi juga dibebankan untuk tetap berperan dalam ranah publik. Sementara, pemerintah hanya memfasilitasi seadanya.
Dari masalah di atas, ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan perempuan untuk tetap berkarya di ranah publik dan juga menang di ranah privat. Seperti bekerja di rumah. Membuat sebuah home industry dengan karya kerajinan tangan seperti yang tengah marak saat ini, misalnya. Dan ...? Mungkin teman-teman bisa share alternatif lain.


Komentar

  1. Orang tuaku dua-duanya bekerja, tapi aku kok gak pernah bisa tampil keren ya ul?

    BalasHapus
  2. Kamu gak keren aja Sisca suka curi2 pandang. Apalagi kalo kamu keren?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Soto Terenak di Sekitar Kampus UGM versi Aulia

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy

Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)