Baper, Apakah sebuah Encoding Decoding yang Salah?




                Di abad millennium ini, siapa sih yang gak kenal dengan istilah baper? Sejak sebuah akun instagram terfenomenal versi Aulia mempopulerkan istilah ini, seluruh dunia dari anak kecil hingga orang tua yang mainan instagram pasti paham banget diksi ini. Baper. Bawa perasaan. Ada juga yang mengartikan baper sebagai banci perasaan. Kalau yang ini, sebagai penganut paham kesetaraan gender, saya gak setuju. Emang salah apa sih banci-banci itu sampai dibawa-bawa dalam jagad perkosakataan negatif? Oke, stop. Saya cuma mau bahas baper. Bawa perasaan. Istilah ini sangat mengena di kepala saya—seorang single yang hampir setahun ini gak punya pacar dan seharusnya merayakan tahun jadian keempat tanggal 5 Agustus kemarin (tuh kan jadi baper?!)—karena beberapa teman lelaki yang dekat dengan saya dan murni saya anggap sebagai teman menganggap hubungan ini sebagai pedekate. Oh wow, saya belum kepikiran untuk merajut hubungan dengan laki-laki, kecuali hubungan yang serius.
                Sesungguhnya, gak ada yang melarang untuk baper. Baper itu kan terjadi karena perasaan berlebihan dari pihak yang diberi kebaikan oleh seseorang. Stuart Hall, pakar Encoding Decoding menjelaskan teorinya bahwa setiap penerima pesan memiliki interpretasi tersendiri atas makna yang disampaikan oleh pemberi pesan. Nah, baper ini terjadi ketika si pemberi pesan menyampaikan pesan A lau diintrepretasikan menjadi B, C, D, hingga Z dengan memberikan sentuhan perasaan dan kesensitifan hati.
Saya sebagai cewek single, lagi-lagi status ini perlu ditegaskan, semenjak menyandang status tersebut kemudian mengubah pandangan hidup saya tentang teman dan pertemanan. Sejujurnya, saya dulu adalah orang yang suka pilih-pilih teman, bukan maksudnya sombong lho. Tapi mungkin tipikal introvert yang membuat saya tidak mudah percaya atau bisa nyambung untuk ngobrol dengan orang-orang. Jadilah saya hanya punya segelintir teman yang seiya sekata sejalan dan sepemikiran. Teman-teman ini berasal dari berbagai jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Belakangan, teman-teman perempuan saya sudah mendahului saya dalam membina hubungan intim dengan laki-laki yang halal menurut dogma agama. Hahaha.. jadilah saya mencari teman dari komunitas lain yang ternyata didominasi oleh kaum Adam. Sialnya, di kampus tempat saya belajar lagi, komposisi laki-laki dan perempuannya tidak seimbang. Apalagi komposisi kesendirian (baca:jomblo), hampir 75% hitungan ngasal teman-teman saya di Jurusan Ndobosologi mengalami kebuntuan cinta. Hahaha..
Oke, kembali ke baper. Sesungguhnya tulisan ini menasihati diri saya sendiri dan beberapa teman saya, yang ngerasa demikian. Wahai Aulia dan teman-temannya di Ndobosologi, sesungguhnya janganlah kalian baper, karena baper itu Cuma bikin sakit hati, kecewa berlebihan, emosi memuncak, dan sinisme pada orang lain. 
Berikut ciri-ciri baper yang telah Aulia rangkum selama ini:
1.       Baper bukan berarti cinta
Ini soal pengalaman beberapa teman yang curhat ke saya soal hubungan pertemanannya dengan lawan jenis. Ketika teman saya, yang saya kenal sebagai orang yang ringan tangan untuk membantu sesama, juga menolong temannya untuk hal-hal yang dia rasa butuh dibantu, si teman laki-lakinya merasakan ada himpunan perasaan yang berlebihan yang dilimpahkan kepadanya.

Pada posisi ini, ketahuilah wahai kaum baper, bahwasanya perlakuan baik yang diberikan kepadamu dari orang lain adalah murni sebuah kebaikan. Berbuat baik kepada banyak orang seharusnya tidak dimaknai sebagai pemberi harapan. Kalau semua orang demikian rupa, ah saya pikir, orang-orang jadi malas berbuat baik pada kaum baperan.

2.       Kebanyakan baper bikin kecewa
Setelah kebaikan hati si teman saya dan dianggap sebagai perasaan berlebihan dari pihak laki-laki, lalu muncullah kekecewaan dalam diri si laki-laki tersebut dan menganggap bahwa teman saya sebagai seorang pemberi harapan palsu. Ohemji helooo.. niat baik seseorang terkadang diartikan berbeda oleh orang lain. Teman saya ini kemudian marah semarah-marahnya pada teman lelakinya. Pun di pihak lain, saya menyayangkan intrepretasi makna berlebihan atas kebaperan si teman lelakinya. Makan tuh kecewa! Hati kita katanya berasal dari kumpulan darah yang membuatnya lunak. Alhasil, hati ini gampang sensitive terhadap suatu masalah. Kaum baper pun demikian. Hatinya mudah sensitive terhadap sesuatu dengan ekspektasi berlebihan. Ekspektasi tersebut berbanding terbalik dengan harapan dan menimbulkan kekecewaan yang besar.

3.       Baper saat gak bales SMA, Whatsapp, BBM, Line, WeChat, KakaoTalk, YM, Mig33
Pesan  tertulis yang disampaikan kepada orang lain seringkali menghasilkan makna berbeda dari yang dimaksud. Oleh karenanya, banyak pasangan yang bisa dengan mudahnya berantem bahkan putus hanya karena salah intrepretasi, kebanyakan naruh tanda seru, pemakaian huruf capslock, ataupun typo.
Sebagai contoh, di jaman yang udah serba internet ini, tukang pulsa yang Cuma jualan pulsa SMS akan kalah dengan pedagang kuota yang tiap abis bisa gonta-ganti. Kadang kalau gak penting-penting banget, orang gak akan beli pulsa telepon atau SMS. Haha, ini sih gue banget. Nah, karena pulsa telepon dan SMS yang jarang terisi, menyebabkan orang yang SMS ke saya kan bête banget karena lama gak dibales atau bahkan bertahun-tahun kemudian, pas Lebaran,d apat angpau buat beli pulsa, baru deh dibales. Bagi kaum baper, SMS whatsapp BBM Line dan pesan-pesan lain yang tidak dibalas adalah derita baginya. Dunia rasanya tidak adil karena si dia tidak kunjung membalas pesan tersebut. Lalu kemudian timbul kesimpulan kalau si dia sangat membenci dirinya. Lalu.. lalu.. lalu.. zzzzzz….

4.       Baper saat becanda
Dibecandain dikit salah, gak dibecandain lebih salah lagi. Maunya apa sih kaum baper ini?

5.       Baper saat nggak diajak jalan
Malam hari di antara kafe-kafe yang menjamur di Jogja, para kaum jomblo dan komunitasnya bersosialisasi bersama di kafe dan waktu yang telah ditentukan. Sebagai sebuah rutinitas, tentu tak perlu lagi ada undangan untuk nongkrong di tempat tersebut. Bagi kaum baper, ketiadaan undangan kemudian mengerucutkan pada sebuah pikiran jahat, "Aku salah apa ya kok gak diajak nongkrong sama mereka?"
Kaum baper terus saja mengulang pertanyaan tersebut. Di sisi lain, teman-teman yang lagi nongkrong itu masa bodo karena mereka pun datang atas inisiatif pribadi tanpa pemberitahuan apapun. Nah lho, si baper capek sendiri karena pikiran negatifnya.
Ternyata, berteman dengan kaum baper sangatlah menguras tenaga dan pikiran. Tulisan ini murni refleksi diri saya sendiri yang akhir-akhir ini pernah berharap pada seseorang tapi ternyata cuma baper. Sakit hati sendiri. saran saya buat kaum baper yang pengen hidupnya bahagia, kurangilah berharap sehingga berkurang kekhawatiran dan kebaperan dalam hidup. Sudahlah, menulis hal-hal baper bikin saya laper. Salam baper.  

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Soto Terenak di Sekitar Kampus UGM versi Aulia

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy

Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)