Efek Tol Cipali

 

Musim mudik Lebaran adalah waktu yang sangat menyenangkan bagi saya. Di tiap bulan Ramadhan, doa saya yang paling kencang adalah soal jodoh  mudik. Pengalaman berlebaran di Tangerang yang terasa sepi membuat saya tidak pernah bersemangat untuk merayakan Lebaran di kota industri tersebut. Saya lahir di Jepara, numpang besar di Tangerang, didewasakan di Jogja dan berkampung halaman di Jepara. Apapun yang terjadi, saya adalah orang Jepara. 

Seperti musim-musim sebelumnya yang selalu ditunggu, tahun ini kami berencana merayakan Lebaran di Jepara. H-2 Lebaran bersamaan dengan hari libur yang diberikan kantor ayah dan adik saya, kami pun kembali ke Jepara dengan mobil yang kata Pak Budiawan tidak bisa disalip. Perjalanan kali ini terasa mendebarkan karena sudah sangat berdekatan dengan hari raya dan diprediksi kepadatan kendaraan akan sampai puncaknya karena seluruh perkantoran libur di hari tersebut. 

Sebelum mudik, ayah saya yang sangat aware dengan permediasosialan sudah lebih dulu melakukan riset dan observasi jalur mana yang akan ditempuh. Apakah lewat tol baru, yaitu Tol Cipali ataukah lewat jalur Pantura seperti biasanya? Diputuskanlah untuk lewat tol Cipali dan merasakan sensasi melewati tol yang panjangnya sekitar 116 kilometer. Wow.. 

Lewat tol Cipali, ibu saya selaku navigator memberikan imbauan kepada empat orang anaknya untuk bergantian tidur atau tidak tidur demi menemani ayah saya yang gampang diserang kantuk selama perjalanan. Tersebutlah tol Cipali ini dibangun untuk menjembatani daerah Cikampek menuju Palimanan. Tol ini digadang-gadang mampu memangkas perjalanan selama lebih kurang 1,5 jam perjalanan. 

Tol yang baru diresmikan oleh Presiden Jokowi pada bulan Juni 2015 ini sepanjang perjalanan di kanan kirinya masih asri dengan deretan sawah dan pepohonan karet. Apabila pemudik lelah, disediakan beberapa tempat istirahat yang masih dalam tahap pembangunan. Untuk itu, saya perlu mengantre air yang jumlahnya minim bersama dengan pemudik lain. 

Seperti kebanyakan tempat istirahat pada umumnya, di sini juga hadir berbagai warung makan dan tokoh oleh-oleh khas Pantura. selain warung makan berlabel tradisionall juga ada warung makan franchise dari berbagai negara digdaya. 

Saya lantas teringat pada jalur Pantura yang lama. Di sana, saya selalu senang melihat pemandangan berbagai toko oleh-oleh yang memajang makanan tradisional, seperti peuyeum Bandung, kerupuk melarat, manisan, ataupun souvenir lain hasil karya masyarkat sekitar. 

dari berita yang saya dengar, kehadiran tol Cipali selain memudahkan akses warga ibukota dan sekitarnya untuk mudik juga berdampak mengurangi pemasukan pedagang-pedagang kecil yang ada di jalur tersebut. Kalau katanya Om Lefebvre, potensi ruang dengan kondisi geografis yang baik adalah benda material. Jadi, kalau sebelumnya tol Cipali itu punya pemandangan yang indah tetapi kalau sebelumnya tidak ada relasi sosial yang mengembangkan area tersebut, ia tidak akan jadi apa-apa. 

Ruang-ruang publik seperti tol Cipali yang dikawinkan dengan relasi sosiall akan melahirkan kapitalisme baru. Lihat saja di tempat istirahat tersebut dimanfaatkan oleh tempat makan franchise sedangkan warga asli sana hanya bisa berjualan secara liar di pinggir jalan. 

Harapan saya, semoga pemerintah daerah dan pemerintah pusat atau siapapun yang punya otoritas khusus dengan tol Cipali bisa mewadahi pedagang-pedagang yang terkena imbas dari hadirnya tol Cipali. Supaya orang miskin dan pengangguran di Indonesia gak jadi banyak lagi. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Soto Terenak di Sekitar Kampus UGM versi Aulia

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy

Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)