Tangerang, antara Kekeringan atau Kebanjiran?

Pagi ini badan saya meriang. Kepala agak pusing, suhu tubuh naik, dan perut terasa mual. Ini akibat beberapa hari belakangan luntang-lantung mondar-mandir kayak setrika. Saya memutuskan untuk berdiam diri di kos untuk memulihkan tenaga. Seharian saya hanya keluar selama 10 menit untuk membeli makan siang sekaligus makan sore karena saya gak pengen merepotkan orang lain untuk membelikan makan.

Di sela-sela waktu istirahat, ibu saya mengirim pesan singkat kalau di Tangerang sedang kekeringan air. Saya lalu mencari beritanya dan benar saja sebagian wilayah Tangerang kekurangan air akibat keringnya sungai Cisadane, satu-satunya sungai besar yang ada di kota berakhlakul karimah tersebut. Untuk mandi, adik-adik saya sampai harus mengungsi ke rumah budhe kami yang keran airnya masih mengalir. Lantas, ibu saya tetap membeli air untuk pasokan cuci piring di rumah.

Kehabisan air di Tangerang bagi saya tidaklah mengagetkan. Di hari biasa saja, air jarang keluar dan harus bergantian dengan tetangga. Beruntung sekarang air sudah masuk rumah karena 'kebaikan hati' PDAM. Sewaktu kecil, keluarga kami harus memompa air tanah. Lalu bapak saya membuatkan mesin jetpam supaya kami tidak perlu bersusah payah memompa air. Hingga akhirnya PDAM dan pipa-pipa panjangnya menyelamatkan hidup kami.

Yang saya pikirkan adalah keadaan ibu saya yang harus tergopoh-gopoh mengangkat air dari rumah tetangga. Beruntungnya, kami tinggal di perumahan yang masih memiliki solidaritas tinggi. Saya tidak merasakan seperti tinggal di kota karena tetangga masih saling bahu membahu untuk membantu tetangganya.
Solidaritas organis, demikian kalau tidak salah sebutan bagi warga masyarakat yang masih mau saling membantu tanpa perlu diminta.

Dari cerita terakhir ibu, musibah kekeringan di komplek rumah semakin meninggikan hubungan di antara sesama tetangga. Sesudah ini, mereka membayangkan akan hadirnya hujan. Tentu supaya Cisadane kembali mengalirkan airnya. Sayangnya, hujan di Tangerang seringkali diacuhkan kehadirannya. Kelebihan air membuat kota itu kebanjiran.

Saya lalu teringat cerita tentang seorang Romo di daerah Muntilan yang memanfaatkan air hujan untuk diminum dan berbagai kebutuhan sehari-hari. Penelitian yang beliau lakukan menunjukkan bahwa air hujan yang diendapkan dan diminum memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh.

Sayangnya, di negara yang curah hujannya cukup tinggi ini, air hujan belum dimanfaatkan dengan baik. Bahkan, ada mitos yang menyebut bahwa air hujan membawa kotoran yang tidak baik buat kesehatan. Yang benar yang mana? Pengetahuanlah yang mampu membuktikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Soto Terenak di Sekitar Kampus UGM versi Aulia

Catatan Perjalanan: Mengunjungi Kampung Baduy

Menengok Kampung Transmigran Jawa di Sorong (1)